Saya paling suka bilang bahwa saya ini puzzle yang cacat, bagian yang tidak diperlukan dan diinginkan. Sebuah produk gagal yang lolos quality control dan diharuskan menjalani kehidupan yang tidak diinginkannya. Yaitu menjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan diperlukan orang lain.
Padahal, apa sebenarnya maksud saya itu? Saat itu saya mencintai seorang lelaki yang bagi saya dia adalah lelaki shalih, tapi lelaki itu memilih perempuan lain yang jauh di atas segalanya dari pada saya. Saya kecewa lalu saya mulai berceloteh bahwa saya ini produk gagal. Kembali lagi seperti sebelumnya bahwa saya ini sebetulnya hanya kecewa. Tapi justru mempertanyakan dan menyimpulkan hal yang salah.
Ketika lelaki sholih itu tidak memilih saya, saya bukannya berusaha memperbaiki diri dan memantaskan diri, tapi saya justru berkubang dalam kesesatan pemikiran bahwa saya seharusnya dicintai seperti apa adanya saya. Padahal simple saja, lelaki itu bukan jodoh saya.
"Tidak ada kata gagal atau tidak berhasil, yang ada hanyalah hasil. Hasilnya sesuai dengan keinginan dan usaha kita, atau tidak."
Tapi saya tidak mau menerima konsep itu. Saya ingin dipilih. Saya ingin menang. Saya ingin berhasil. Bukannya berusaha dengan rambu-rambu petunjuk dari Allah, saya justru menyalahkan Allah atas apa yang terjadi pada saya. Kenapa Allah menciptakan perempuan yang dipilih oleh lelaki itu untuk menghinakan saya yang tidak sholih?
Saya mulai menolak berdoa, menolak memilih karena dengan kecerdasan mepet saya saat itu, saya berpikir bahwa tidak memilih itu berarti menolak perintah Allah. Padahal tidak memilih itu adalah pilihan. Saya memilih untuk tidak memilih.
Ketika orang lain mampu memperlihatkan kesholihannya, saya lagi-lagi berkubang dalam pemikiran bahwa dia itu sok suci. Seharusnya setiap manusia itu seperti saya, santai saja dalam beragama karena agama itu bukan sesuatu yang harus diperlihatkan. Agama itu konsumsi ranah pribadi.
Saya bangga pada apa yang saya lakukan, suka begadang, menulis cerita, menulis puisi, tidak melakukan kenakalan seperti teman-teman saya, dan saya merasa ada di level manusia terbaik saat itu. Padahal saya ini hanya orang yang dibutakan oleh godaan syaiton. Tidak melakukan kenakalan macam bolos sekolah, mewarnai rambut, mengecilkan seragam sekolah, tapi saya melakukan yang lebih besar yaitu dengan sengaja dan dengan kesadaran meninggalkan sholat.
Saya sempat mempertanyakan beberapa tahun kemudian, apa yang membuat orang lain mudah mencari pekerjaan sedangkan saya sulit? Apa yang membuat saya ingin menyegerakan menikah justru dipersulit? Jawabannya mudah saja, apa yang sudah saya tanam bertahun ke belakang?
Comments
Post a Comment