—- Aku sampai di Kalimati. Nindya tertidur di dalam tenda, berselimutkan sleeping bag. Bibirnya tidak biru. Tapi masih pucat. Aku duduk di sampingnya. Perlahan menyentuh keningnya yang dingin. Nindya terbangun. “Rian, kamu enggak apa-apa, Rian?” Tanya Nindya padaku. Tangan Nindya keluar dari sleeping bag dan meremas tanganku yang beku, tapi tidak sebeku hatiku. “Dingin.” Jawabku. “Sini, pake sleeping bag aku.” Nindya membuka sleeping bagnya. Dia duduk. Menyelimutkan sleeping bag hangat bekas tubuhnya. Kemudian Nindya sambil menggosok punggungku dengan telapak tangannya. “Mata kamu penuh debu. Dibersiin dulu.” Aku menggeleng. “Minum?” Citra menatapku dari luar tenda. Aku tidak bernafsu untuk membalas tatapan sinisnya. Nindya masih sama seperti sebelum aku membuka suratnya. Tersenyum, kali ini benar-benar bermaksud untuk ramah. Bukan untuk membuatku geer karena merasa menggenapkan per
"Age cannot wither her, nor custom stale her infinite variety"
---Anthony and Cleopatra, Act II, Scene II---