Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2013

Mencari Damai bagian 13

—-                 Aku sampai di Kalimati. Nindya tertidur di dalam tenda, berselimutkan sleeping bag. Bibirnya tidak biru. Tapi masih pucat. Aku duduk di sampingnya. Perlahan menyentuh keningnya yang dingin. Nindya terbangun.                 “Rian, kamu enggak apa-apa, Rian?” Tanya Nindya padaku. Tangan Nindya keluar dari sleeping bag dan meremas tanganku yang beku, tapi tidak sebeku hatiku.                 “Dingin.” Jawabku.                 “Sini, pake sleeping bag aku.” Nindya membuka sleeping bagnya. Dia duduk. Menyelimutkan sleeping bag hangat bekas tubuhnya. Kemudian Nindya sambil menggosok punggungku dengan telapak tangannya. “Mata kamu penuh debu. Dibersiin dulu.” Aku menggeleng. “Minum?”                 Citra menatapku dari luar tenda. Aku tidak bernafsu untuk membalas tatapan sinisnya. Nindya masih sama seperti sebelum aku membuka suratnya. Tersenyum, kali ini benar-benar bermaksud untuk ramah. Bukan untuk membuatku geer karena merasa menggenapkan per

Mencari Damai bagian 12

—-                 “Rian, kalo di puncak Mahameru itu ada gas beracun. Yang aku tau, katanya jangan duduk, tetep berdiri. Soalnya katanya juga, gas beracun itu Cuma setinggi pinggang.”                 “Baca dari mana, Nind?” Tanyaku sambil masih mencontek tugas ekonomi makro milik Nindya di perpustakaan.                 “Dari blog orang.”                 “Orang mana?”                 “Lupa lagi, keburu di-close sih.”                 “Lain kali, coba kamu tanya dulu. Dia tau itu dari mana?”                 “Tapi dia tau kalo di puncak Mahameru itu ada nisannya Gie. Masa dia boong?” Nindya mulai kesal karena pertanyaanku menjurus ke arah tidak percaya dari pada menghargai pengetahuan Nindya tentang Mahameru.                 “Semua orang juga tau.”                 “Aku nggak tau.”                 “Aku tau.” Jawabku. Aku berhenti menulis. Memandangi Nindya yang menatapku tanpa berkedip.                 “Terus?”                 “Aku sayang sama kamu, Nindya…”

Mencari Damai bagian 11

—-                 “Rian! Rian tungguin kita. RIAAANNN!” Citra berteriak ke arah Rian. Rian berada beberapa puluh meter di depan Citra. Tidak menggubris sedikit pun meski pun Citra sudah berteriak sekuat tenaga. Kabut menerpa Citra, Aura dan Siska. Aura bergidik, menahan dingin dan ketakutan. Dia belum pernah ada di gunung setinggi itu sebelumnya. Terbersit di kepala Aura, rasa takut akan kematian.                 Siska berteriak ke bawah, memanggil-manggil Nindya dan Rena. Matanya sudah basah oleh air mata. Siska dan Aura sama-sama bingung ketika Rian dan Citra bertengkar. Mereka satu frekuensi dalam berpikir, teringat pada film Descendent . Mereka bertengkar kemudian mati satu persatu.                 Kali ini, mereka tidak perlu bingung, kematian begitu dekat. Seolah tinggal menunggu waktu. Gemetar di tubuh sudah tidak bisa ditahan lagi. Mereka duduk berdekatan.                 “Jangan tidur Cit.” Bisik Aura. Bisikan Aura terlalu lemah. Citra tidak mendengarnya

Mencari Damai bagian 10

—-                 Setelah beberapa ratus meter berjalan dan tinggal beberapa puluh meter ke puncak, aku melihat ke belakang. Kosong. Tidak ada Citra, Aura atau Siska di belakangku. “CITRA! SISKA! AURA!” Aku meneriaki nama mereka tapi tidak ada jawaban. Kabut memutus pandanganku ke bawah. Satu-satunya jalan yang kulihat adalah ke puncak. Aku berjalan mencoba menggapai puncak. Di sana aku sendirian. Tidak ada siapa pun.                 Aku mengerti bahwa itu adalah puncak tertinggi di pulau Jawa, tapi mengapa begitu sepi? Aku berharap di sini ada pendaki lain. Tapi hanya aku. Aku tercekat. Aku tidak tahu harus kemana. Aku mengeluarkan kamera digital dan mulai mengambil semua gambar situasi di sekelilingku. Semuanya kabut. Tiba-tiba aku teringat pada Mbah Maridjan. Jangan-jangan ini wedhus gembel ?                 Aku membuka sarung tanganku, meraba kabut di hadapanku tapi tanganku tidak melepuh, aku menyentuh wajahku, wajahku masih utuh. Lalu kenapa tidak ada orang?