Skip to main content

Kota yang Dicintai


Bagi sebagian orang, sebuah kota bisa dicintai bahkan hanya karena perasaan yang dirasakan ketika berada di kota itu. Perasaan-perasaan itu abadi tersimpan disana. Setiap orang seolah memiliki loker dan kunci yang khusus dan hanya terbuka ketika ia datang ke kota itu. Tidak seperti loker biasa yang bisa diberikan pada orang lain jika pemiliknya sudah tidak menggunakannya, perasaan yang terasa di kota itu memanggilnya untuk kembali menelusuri perasaan yang pernah dirasakannya. Ada banyak kota yang memiliki sisi magis seperti itu.

Bagiku, Jogja adalah kota itu. Disana, bahkan ketika aku belum menemukan cintaku yang sesungguhnya, ketika hatiku masih berserak dan menganggap diriku adalah bagian dari puzzle yang cacat, aku merasakan perasaan nyaman. Saat itu aku tidak paham apa terjemahan dari perasaan-perasaan itu. Aku sama sekali tidak paham. Aku hanya tahu bahwa aku merindukan seseorang. Sering aku kembali ke kota itu hanya untuk memastikan perasaan itu masih ada. Aku tidak pernah tahu apa maksud perasaan itu sampai kemudian sore itu aku kembali ke Jogja.

Udara Jogja di sore hari selalu membawa aroma yang berbeda ke hidungku, ternyata aroma itu mirip sekali dengan aroma tubuh lelaki yang menggandeng tanganku erat sambil menyusuri jalan Malioboro. Lalu perasaan nyaman yang dulu kurasakan itu ternyata adalah perasaan yang sama ketika lelaki itu mengobrol denganku tentang segala hal. Ini bukan kebetulan, Tuhan dan Jogja bekerja sama untuk membuatku terkagum-kagum dengan jalan takdirku.

Malam hari ketika aku meninggalkan Jogja, aku merasakan ada tubuh kecil yang juga akan mencintai Jogja seperti ibu dan bapaknya. Aku tahu perasaan itu akan segera kurasakan kembali.

Comments

Popular posts from this blog

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan