Skip to main content

Makan-makan Sebelum Wisuda: Chagiya Korean Suki & BBQ


Bulan Desember 2016 lalu, saya dan teman-teman magister Pendidikan Biologi mengadakan acara makan-makan yang tujuannya adalah merayakan wisuda magister. Saat itu yang datang berenam, minus dua orang yang ternyata berhalangan hadir karena ada satu dua hal. Tempat yang kita sengaja pesan adalah Chingu Cafe. Saat itu saya sebenernya kurang setuju, tapi karena temen-temen yang lain keukeuh pengen ke tempat barunya Chingu Cafe, jadilah saya ngalah.

Pas hari H, kita sengaja dateng pagi-pagi karena katanya kalo dateng agak siang dikit aja langsung penuh. Nah, temen saya si Ela kebetulan udah dateng duluan dan langsung booking tempat. Ternyata kita bukan makan di Chingu, tapi di Chagiya. Chagiya ini adalah restoran korea yang ada barbeque-nya.


Di Chagiya, kita langsung pesen makan aja biar ga usah nunggu lama. Setelah mesen-mesen, si waiter-nya baru bilang kalo orderan kita ga bisa diproses sebelum kita pilih menu Chagiya. Lah, menu Chagiya emangnya apa? Ternyata menu Chagiya ini adalah menu barbeque-nya. Jadi ada paket bakar-bakar irisan tipis daging ayam dan daging sapi, ada paket celup-celup mie ke dalam kuah daging gitu. Karena terpaksa mesti pesen menu Chagiya, akhirnya dipesenlah menu Chagiya yang barbeque untuk 2-3 orang meskipun yang makan jadinya 6 orang. Anggep aja syarat sahnya.


Ketika si menu Chagiya ini datang, eh ternyata dagingnya super tipis, sama sekali ga masuk kategori daging. Bahkan sama kulit ayam yang biasa dijual di supermarket aja masih lebih tebel kulit ayam yang dijual di supermarket. Kalo ga salah kita cuma dapet 10 irisan daging, 5 irisan daging ayam dan 5 irisan daging sapi. Karena kompornya tepat ada di depan saya, jadilah saya adalah koki yang bertugas masakin si daging itu sampe mateng.

Saya kurang suka sama rasa masakan yang ada di Chingu Cafe ataupun Chagiya, menurut saya sih terlalu hambar ya. Saya udah coba beberapa menu makanannya kayak bimbimbap, ramyeon, jjangmyeon, beef bulgogi, tapi semua rasa makannnya itu ga pas di lidah saya, bumbunya kurang kuat. Bahkan ramyeon-nya Chingu sama Ind*mie kuah aja masih kuat bumbunya Ind*mie kuah. Pendapat saya ini mungkin terkesan negatif banget, tapi saya udah ke Chingu sekitar 7 kali jadi hampir semua jenis makanannya udah saya coba.

Satu-satunya yang menurut saya penyelamat Chingu Cafe ini adalah minumannya, yaitu Yujacha atau teh dengan irisan kulit jeruk. Dan setiap kali pergi kesana, saya selalu pesen itu. Setidaknya diantara semua makanannya yang ga enak itu ada penyelamat kan? Nah, pas ngerayain wisuda kemaren saya sempet coba dessert-nya yang baru, es krim matcha green tea gitu dan rasanya lumayanlah dibandingkan dessert yang mirip bibimbap itu rasanya kayak air sirop aja.




Kelebihan dari Chagiya ini adalah desain interior dan eksteriornya yang menurut saya menarik, dibuat mirip kayak di Korea. Menurut saya sih percuma ya, karena saya belum pernah ke Korea. Jadi dikasih suasana artifisial Korea itu ga begitu ngaruh buat saya.

Menuju siang, Chagiya ini mulai gak nyaman banget. Orang-orang yang ada di waiting list melototin kita yang masih makan seolah nyuruh buru-buru. Parah banget. Kemudian mulai kerasa juga udara Bandung yang panas dan gak nyaman lama-lama di luar ruangan. Tapi Chagiya ini jadi tempat asyik kalo mau foto-foto.

Alhamdulillah temen-temen saya sih seneng banget bisa ngumpul dan makan-makan disini karena ceritanya itu kita sedang terakhir-terakhiran. Karena kalo udah lulus kan pasti susah kalo mau ketemuan. Ah, jadi kangen momen ini.

Saya sampe sekarang sih belum kangen ya sama Chagiya, tapi kangen sama salah satu restoran korea di Bandung yang menurut saya rasanya itu cocok banget di lidah saya. Nanti saya review deh. Tunggu aja ya.





Comments

Popular posts from this blog

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan