Skip to main content

kusebut ini....

Ini cerita dari sebuah film yang fenomenal di 2013 lalu. Mungkin mencoba menandingi 5cm di 2012. Nama filmnya adalah Sagarmatha. Aku sendiri belum nonton. Tapi kata adikku, Sagarmatha adalah nama lain dari puncak Everest atau Himalaya.

Aku tidak berpikir untuk pergi ke Himalaya. Tidak sedikit pun. Aku tahu kemampuanku, aku bisa selamat di cuaca Indonesia, belum tentu aku bisa tahan dinginnya salju. Kalau pun aku tahan, mungkin aku akan kapok. Karena itulah untuk merasakan salju, aku lebih memilih pergi ke Jepang. Menikmati sakura juga sekalian. Meski pun kata salah satu dosenku, sakura itu bisa dilihat juga di Kebun Raya Cibodas di bulan Juli sampai Agustus. Tapi aku yang ingin melihat sakura pun belum pernah menyempatkan diri ke Kebun Raya Cibodas untuk melihatnya langsung.

Teman adikku beberapa bulan lalu ke Nepal. Mereka katanya mau mendaki Amadablam. Aku tidak tahu cara menulisnya. Mendaki Amadablam katanya lebih sulit dari pada mendaki Everest. Katanya ada saat dimana mereka menempelkan tubuh mereka di tebing seperti cicak, karena lebar pijakannya hanya untuk satu kaki. Membayangkannya saja sudah ngeri.

Aku suka tantangan. Tapi setidaknya, aku tidak bodoh. Aku tidak akan mencoba sesuatu di luar batas kemampuanku. Meski pun kadang, aku suka bertanya-tanya, dimanakah "batas" itu. Karena tidak pernah tahu, jadi aku pikir batas itu adalah kematian.

Aku sudah nitip ke teman adikku itu untuk membeli garam pink khas Nepal karena sebelumnya aku menonton acara jalan-jalan di tivi. Aku penasaran dengan garam pink itu. Katanya tidak asin. Lalu kenapa disebut garam?

Sayangnya, teman adikku itu tidak pulang dengan garam pink. Juga tidak pulang dengan mendaki Amadablam. Katanya, salah satu anggotanya hipotermia, bahkan sampai mengeluarkan darah dari kuping. Akhirnya mereka batal muncak. Mereka turun dan akhirnya memilih puncak Lobuche. Entah apakah aku nulis dengan benar juga kali ini.

Puncak itu bernama Lobuche. Tidak setinggi Amadablam. Katanya sih tingginya lima ribu. Entahlah. Aku tidak tertarik mengecek di google. Mereka mengibarkan bendera Bandung Juara, bendera Indonesia dan Universitas mereka dan bendera almamater pecinta alam mereka. Kemudian mereka pulang ke Indonesia. Amadablam jadi mimpi yang tertunda.

Sagarmatha, mengambil sebuah cerita tentang dua orang sahabat yang pergi ke puncak Everest. Di perjalanan mereka mulai bertengkar, kemudian mereka berpencar. Setelah berpencar, Nadine Chandrawinata sadar bahwa sahabatnya itu tidak pernah turun gunung ketika mereka berpisah saat terakhir kali turun gunung. Sahabatnya itu mati. Itu kata review yang aku baca di google. Aku belum nonton.

Hanya saja, aku langsung ngejudge. Ceritanya tertebak! Ini semua tentang "halusinasi". Dan aku gak suka dengan film kayak gini. Aku merasa dipermainkan dan itu sama sekali tidak menarik. Sama kayak aku liat film Breaking Dawn 2. Sewaktu liat Carlisle mati, darah aku mendidih. Aku sewaktu itu megang minuman isi coca cola. Rasanya pengen ngelemparin isi minuman itu ke layar. Pertama, karena rasa coca colanya gak enak. Kedua karena aku gak suka coca cola. Ketiga karena es di coca colanya udah mencair. Keempat karena aku liat Carlisle mati.

Naik gunung itu bukan hal mudah. Tentu gak bisa dilakukan satu orang, apalagi hanya berkawankan "halusinasi". Dan entah kenapa, setelah muak dengan film 5cm, aku muak dengan semua film yang mengambil keadaan naik gunung. Naik gunung itu tidak gampang. Naik gunung itu tidak cantik. Naik gunung itu tidak pernah mulus.

Dan sekarang, setiap kali ngeliat Pevita Pearce atau Raline Syah yang cantik jelita di Semeru, aku nge-anjing anjing mereka. Naik gunung rambut diurai, naik gunung nggak bawa makanan banyak, naik gunung nggak bawa air. TAI.

Aku selalu berpesan sama adik aku. Jangan pernah naik gunung sama mereka yang nggak mau bawa makanan banyak, air banyak, atau yang minimalnya punya sleeping bag.

Aku tidak menyama-nyamakan pengalaman pahitku dengan kehidupan adikku nanti. Tentu adikku dikelilingi teman-teman yang profesional di dunia naik gunung. Tapi sebagai seorang kakak, aku khawatir. Aku akan bertanggung jawab pada keselamatan adikku. Dan kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya, aku tentu tidak akan bisa hidup tenang sebelum menyembelih teman-temannya yang "selamat".

Aku sudah punya pengalaman cukup banyak, naik gunung dengan mereka yang sekarang ini kusebut "amatir". Aku pun amatir, tapi setidaknya aku mau beli kompor, aku mau beli sleeping bag, aku mau bawa air banyak dan aku mau bawa keperluanku sendiri. Ya, naik gunung itu hanya sekedar naik gunung, naik, menikmati pemandangan dan turun lagi. Iya, kalau bisa turun lagi, -njing.

Satu-satunya alasan kenapa aku masih hidup saat ini adalah karena doa yang tidak putus dari orangtuaku. Bukan sekali dua kali pendaki mati di gunung. Bahkan gunung yang tingginya tidak lebih dari tiga ribu. Banyak, ratusan, ribuan. Bahkan Soe Hok Gie yang dibangga-banggakan itu pun mati konyol di puncak Semeru. Perlu bukti apa lagi?

Dan di Sagarmatha, Nadine naik ke Everest seorang diri? Pikaanjingeun pisan. Setidaknya film itu harus make believe. Boro-boro make believe, you fucking annoy me!

Aku sudah pernah naik gunung dengan mereka yang kedinginan, kehujanan tanpa jas hujan kemudian tidur tanpa sleeping bag. Aku pernah naik gunung dengan mereka yang tidak tahu apa itu bivak dan menganggap tenda adalah benda berat, menyusahkan dan dianggap tidak perlu. Aku pernah naik gunung dengan mereka yang menganggap tidur beratapkan langit adalah hal indah. Aku pernah naik gunung dengan mereka yang bawa daging mentah tanpa tahu cara membuat api. Aku pernah naik gunung dengan mereka yang hanya bawa sebotol kecil air untuk mendaki dua hari semalam. Aku bahkan pernah naik gunung dengan mereka yang lebih memilih membawa kosmetik dari pada makanan.

Dari semua orang yang menurutku pikaanjingeun itu, aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk hidup dan menulis ini. Kalau mau buat puisi di gunung, mendapat inspirasi di gunung, setidaknya belilah tas dengan cover bagnya. Kemudian belilah sleeping bag, matras, kompor. Kemudian belajarlah membuat bivak. Setelah itu pakailah otak super tololnya untuk lebih memilih air dari pada kosmetik. Kalau mau ganti foto profil di gunung, belilah sepatu untuk naik gunung. Kalau mau membuang unek-unek di gunung dan berteriak-teriak, setidaknya bawalah seseorang yang mahir dalam hal naik gunung.

Mati di gunung itu tidak membanggakan. Masuklah ke grup pendaki. Dalam hati mereka, mereka ngeanjing-anjing, ngetai-tai kamu yang mati di gunung. Tidak ada kebanggaan ketika kamu mati di gunung. Naik gunung tidak mendekatkan kamu pada surga, apalagi Tuhan.

Ketika aku mendengar berita seseorang hilang di gunung, aku tertawa lepas, kemudian ngetolol-tolol mereka. Atau ketika temanku mengupload foto mereka bersama di gunung. Ya, selamat kalian berhasil sampai puncak, turun lagi dan berhasil ngupload foto. Mungkin lain kali tidak, ASU.

Orangtua mana lagi yang mau dibuat menderita? Naik gunung itu tidak keren. Apalagi kalau kamu tidak berpikir untuk meminimalisir potensi kamu celaka di gunung. Ah tailah, anjiiiiiiiiiinggggggg!!!!!!!!!!! Maaf harus kusebut ini....

Comments

Popular posts from this blog

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan