Skip to main content

ABORSI


Flash fiction by Lukita Octavia Furkon


            Ummi turun dari motor bebek yang dikendarai Abi. Ummi lalu membuka pintu gerbang dan pintu rumah. Abi masih termangu di atas motor bebek kesayangannya. Dia memperhatikan Ummi, istri yang dicintainya.
            “Ayo masuk Bi.” Kata Ummi. Abi terkejut. Kemudian mendorong motornya masuk. Ummi menyalakan saklar lampu dalam ruang tamu. Abi selesai memasukkan motornya ke dalam garasi. Abi menutup pintu rumah. “Abi mau dibikinin kopi atau teh?” Tanya Ummi dari arah dapur.
            “Teh aja Mi. Nanti Ummi temenin Abi disini yah.”
            “Iya Bi.” Ummi menyahut. Abi duduk di sofa biru yang dia beli 10 tahun lalu. Waktu pertama kali menempati rumah ini setelah menikah dengan Ummi. Masih sofa biru yang sama. Per dan karetnya masih bagus. Biasanya sofa akan rusak kalau dipakai anak kecil sebagai tempat melompat-lompat pengganti trampolin. Abi mendesah. Ya, kehadiran seorang anak. Itu yang Abi dan Ummi tunggu selama 10 tahun ini.
            Abi memperhatikan figura foto pernikahannya. Abi merasa sedih. Cincin kawin Abi dengan sengaja diputar-putar melingkari jari manis. Di dokter kandungan tadi, Abi iri melihat suami yang mengantar istrinya mengontrol kehamilan. Abi iri sekali.
            “Ini tehnya Abi.” Ummi mengantarkan teh dan duduk di sebelah Abi. Abi mengambil cangkir tehnya. Meniup-niup permukaannya. Adzan Isya berkumandang dari mesjid yang jaraknya hanya 10 meter dari rumah mereka. Abi menyesap tehnya. “Wah, sudah Isya, Bi. Kita sholat berjamaah yah.” Ummi mengingatkan. “Utun juga ikut sholat yah.” Ummi mengelus-elus perutnya.
            Abi tersedak. Ummi segera menepuk-nepuk punggung Abi. Abi menaruh kembali cangkir tehnya. Ummi masih mengelus-elus perutnya. “Abi enggak apa-apa?” Tanya Ummi. Abi diam saja. Tapi setelah batuk Abi mereda, Abi mulai bicara.
            “Mi, kita perlu ngobrolin masalah ini dengan serius. Gimana menurut Ummi?” Sekarang Ummi yang diam. Ummi mendesah. Matanya mulai berkaca-kaca. “Abi juga berat Mi, tapi kita harus menggugurkan janin dalam rahim Ummi.” Ummi mulai menangis. “Abi ingin anak Abi jadi pemain sepak bola, atau dokter. Abi tidak mau anak seperti itu, Mi.”
            “Tapi ini bukan keinginan Utun juga Bi. Utun pasti mau jadi anak yang terbaik untuk Abi.” Ummi menjawab sambil menahan tangis.
            “Nanti Abi cari uang yang banyak Mi. Ada program bayi tabung di Malaysia. Kita bisa Mi. Kita bisa. Tapi gugurkan dulu yang ini.” Kata Abi sambil memegang tangan Ummi.
            “Tidak Abi.” Ummi melepaskan tangannya dari genggaman tangan Abi. “Ummi enggak mau mengaborsi anak ini. Ini darah daging kita. Ini rezeki dari Allah. Jawaban atas doa-doa kita. Doa-doa Abi setiap tahajjud.”
            “Ummi!” Abi sedikit berteriak. “Apa Ummi mau mengantar anak cacat ke SLB setiap hari? Ummi dengar kan, apa kata dokter tadi? Anak kita mengalami kecacatan dalam sistem saraf. Dia mengidap down syndrome, Mi. Apa Ummi tega anak kita dihina sama tetangga? Ummi tega?”
            Ummi menangis semakin keras. Air mata Ummi memasahi kerudung panjang Ummi. Tangannya kuat memegangi ujung kerudungnya yang sampai lutut. Abi pun menangis. Abi mendekati Ummi, memegangi tangan Ummi yang memegangi ujung kerudungnya.
            “Ya Allah, cobaan-Mu begitu berat. Hamba tidak sekuat itu, Ya Allah….” Abi menangis sambil memeluk Ummi. “Maafkan Abi, Ummi.”

Comments

Popular posts from this blog

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan