Skip to main content

Alasan,.

Beda antara orang yang berhasil melakukan sesuatu dengan tidak itu kadang hanya sesuatu yang sepele sekali.
Yaitu: alasan. Ada yang mengubur dalam2 semua alasan, memutuskan mulai dilakukan. Sebaliknya, ada yang terus, terus, terusss mencari alasan, membangun tembok argumen agar tidak memulainya. Bila perlu menyalahkan orang lain atau situasi di sekitarnya.
Nah, kita tahu sekali, diri kita sendiri masuk yang mana.
(Darwis Tere Liye)

Saya suka berpikir begini: mengapa dalam sebuah surat pernyataan selalu ditulis "dalam keadaan sadar, tidak ada tekanan dari siapa pun", memangnya ada orang yang melakukan pernyataan tanpa keadaan tidak sadar?

Kedua, saya juga memikirkan hal ini: mengapa ada orang yang tega membohongi orangtuanya dengan bilang harus membeli buku padahal uang untuk beli buku itu dijajanin. Jujur saya heran, orangtua saja dibohongi, apalagi orang lain?

Di perjalanan naik gunung saya kemarin, saya akan mendapatkan banyak jawaban. Seketika jika saya boleh tambahkan. Rasanya teori saya bahwa saya mendapatkan ketentraman ketika naik gunung itu sedikit benar. Pikiran-pikiran yang biasa berkecamuk seolah terobati dengan jawaban-jawaban yang tiba-tiba muncul.

Ada orang yang tega membohongi orangtuanya. Bilang butuh uang untuk beli buku pelajaran, nyatanya dijajanin. Banyak bahkan. Tapi pelajaran Ibu dan Ayah saya tentang Tuhan itu melekat erat. Orangtua mungkin terbatas untuk mengetahui kebohongan anaknya, tapi Tuhan tidak. Ya, dengan pelajaran itu saya merasa lebih 'disolehkan'. Padahal waktu SD saya dicap sebagai anak kafir karena Ibu dan Ayah saya beragama Katholik.

Ketika saya memutuskan untuk melakukan ibadah naik gunung kemarin, saya sudah punya alasan banyak, hanya belum mampu direalisasikan. Ketika kesempatan merealisasikannya ada, saya mengepit rasa takut di kedua ketiak saya. Orang yang banyak takut tidak akan pernah pergi kemana-mana. Maka saya kubur semua alasan takut kemudian memberanikan diri untuk berangkat.

Saya kaget ketika teman seperjalanan saya mampu melakukan hal yang sama. Mengepit rasa takut di kedua ketiaknya dan memberanikan diri untuk berangkat. Maka kami berangkat.

Di akhir perjalanan, alasan yang tadi dikubur seolah dibangkitkan dan rasa takut yang dikepit di antara dua ketiak dibuka. Argumen bertebaran. Seolah yang salah karena sudah mengajak dan membawa adalah saya. Ya, mereka seharusnya tidak pernah memulainya. Jangan takut hanya karena tidak mau jalir janji.

Perjalanan kemarin, salah. Saya mengajak, salah. Tidak sempat ke puncak, salah. Bertemu badai, salah. Kedinginan, salah. Ya mungkin mereka yang dilahirkan pun adalah sebuah kesalahan.

Nah, jawaban atas pernyataan yang sadar dan tidak ada tekanan dari siapa pun akhirnya muncul. Bahwa ternyata ada manusia yang mengambil keputusan dalam keadaan tidak sadar, dan saya yakin omongannya yang bilang, "mungkin itu kesempatan sekali seumur hidup" dengan api bangga yang berkobar-kobar itu juga diucapkan tidak sadar.

Kebanggaan-kebanggaan yang diucapkannya itu sekedar omong palsu. Dan ketika dia bicara lagi tentang perjalanan itu, sebuah perjalanan yang katanya perjalanan hati atau perjalanan belajar, mereka belajar gagal.

Alasan-alasan dicari untuk menyalahkan keadaan, orang dan tempat. Sepertinya tidak punya kaca untuk melihat bahwa yang namanya manusia adalah gudang salah.

Comments

Popular posts from this blog

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan