Skip to main content

Mencari Damai bagian 15

—-
                Seminggu setelah perjalanan. Pagi itu kami sampai di stasiun Bandung, aku berpisah dengan Nindya. Tidak ada ucapan selamat tinggal. Tidak ada lambaian tangan atau senyum Nindya, dia hanya bilang tentang janur kuning. Di gerbang stasiun itu, aku melihat Dani menghampiri Nindya. Nindya membuka carriernya kemudian memeluk Dani.
                Kali ini aku benar-benar sadar. Lengan Nindya hanya akan memeluk Dani. Nyamannya Nindya hanya ketika bersama Dani. Saat itu aku memakai kembali kaca mata hitamku. Berjalan keluar stasiun Bandung tanpa melirik Nindya.
                “Aku seneng banget.” Kata Nindya, berbisik di telinga Dani. “Seru! Aku mau kesana lagi.” Suara Nindya terdengar ringan dan renyah. Seolah lupa kami saling berteriak di tengah padang lavender. Citra yang memakinya habis-habisan di Kelik. Kekhawatirannya saat dia tahu aku terperangkap badai di puncak. Lelahnya sepanjang perjalanan. Belum lagi kecewanya karena tidak mampu ke puncak.
Saat itu, aku mencoba berpikir menjadi Nindya. Mungkin Nindya akan bilang, “Rian, jangan berharap kamu bakal diajak lagi!”
Aku mengerti kenapa Nindya lebih memilih Ciremai dari pada bakti sosial. Doaku agar Nindya dilindungi bagaimana pun caranya pun terkabulkan. Doaku agar luka ini sembuh pun hilang. Padahal sudah seminggu, tapi dadaku masih berlubang berbentuk huruf O, mengeluarkan suara oooo yang panjang dan penuh, masih penuh pengertian.
Jari jemariku mengetik di kolom status facebook yang mungkin tidak akan pernah dibaca Nindya. Tapi seperti kata Dani pada Nindya. Ke puncak gunung bukan agar kita bisa melihat dunia, tapi agar dunia bisa melihat kita. Aku pun sama, aku memperbarui statusku agar dunia bisa melihatku.
                Aku tidak akan pernah meracun calon suamimu dengan racun tikus. Selamat!
                ENTER. Iseng aku mencari sekali lagi facebook Nindya. Aku masih tidak bisa menemukan facebook Nindya. Kali ini, mungkin aku diblok.
                Hatiku lebih damai meski pun diblok. Damai itu kutemukan saat aku melepaskan. Membiarkan perasaanku diketahui, mendapat jawaban meski pun jawabannya tidak. Aku tiba-tiba ingin naik gunung lagi.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata...

yang bergerak

    Hari ini, adalah hari kedua aku mengajar. Aku sudah semester 7 dan sekarang sedang menyelesaikan program pe-pe-el yang lebih dikenal dengan nama Jobtre. Bagiku, hari ini adalah hari yang sempurna, aku sudah mempersiapkan RPP (Rencana Program Pembelajaran) dengan sempurna, juga aku mempersiapkan sebuah powerpoint sederhana yang akan mudah dimengerti oleh para siswa, dan tak lupa aku membuat kopian tentang presentasiku, sengaja kuambil plan B lebih awal, antisipasi jika ternyata LCD yang sudah kupesan tidak bisa kupakai.     Aku tidak didera gugup sekalipun. Tidak seperti temanku yang lain, aku sangat menikmati program pe-pe-el ini. Aku menikmati saat aku berinteraksi dengan siswa, saat siswa itu kemudian mencium tanganku, saat siswa itu memanggil namaku dan SKSD menghujamiku dengan pertanyaan polosnya. Aku sangat menikmati semua itu.     Awalnya aku tidak gugup, tapi saat mereka memanggil namaku dan kucium aroma semangat. Aku mulai gugup...

Ayahku Si Malaikat Berkantol

Ada 3 orang yang kuanggap bukan lelaki di dunia ini. Mereka adalah kakekku, ayahku dan adik lelakiku. Bagiku mereka bertiga tidak termasuk dalam kategori lelaki. Lelaki dalam bayanganku adalah seorang dengan jenis kelamin pria yang suka menyakiti hati wanita. Kakekku tidak, setidaknya itulah yang kulihat sampai nenekku meninggal. Kakekku tetap setia kepadanya hingga ajal menjemput. Ayahku, meski pun adalah lelaki pemarah tapi mencintai ibuku, itulah yang kulihat dalam kesehariannya. Adikku, meski pun dia masuk kategori lelaki dalam bayanganku, aku tetap akan menganggapnya bukan sebagai lelaki. Dalam kehidupan percintaanku, aku mengenal banyak lelaki. Lelaki-lelaki itu mengajarkanku banyak hal, kebanyakan dari mereka adalah temanku. Aku melihat dari dekat kehidupan mereka sehingga aku bisa mempelajari mereka. Hampir semua pria yang dekat denganku masuk dalam kategori lelaki. Mereka brengsek, penipu, pembohong dan menganggap wanita hanya sebagai objek saja. Awalnya mengenal mereka...