—-
Di depan aula kampus,
pertama kalinya aku bertemu dengan Nindya. Nindya menggunakan sebuah
topi pelaut berwarna ungu yang terbuat dari karton. Dia sedang dihukum
untuk lari mengelilingi aula. Aku memperhatikan Nindya tak berkedip.
Nindya menatapku sebentar, melempar senyum tipis tapi terus berlari.
Waktu itu aku sedang
berdiri dengan teman baruku bernama Irwan. Irwan segera berlari mengejar
Nindya. Nindya berhenti berlari saat Irwan memanggilnya. Irwan tanpa
ragu meminta nomor handphone Nindya. Irwan menunjuk sebentar padaku.
Nindya sekali lagi melemparkan senyum manisnya padaku.
Irwan kembali padaku
sambil tersenyum lebar. Irwan mendapatkan nomor handphone Nindya hanya
dengan mengatasnamakan aku yang memintanya. Irwan tidak mau membagi
nomor handphone Nindya padaku. Aku sudah merayunya habis-habisan.
Kemudian aku bertemu Nindya lagi di depan aula, dia masih mengitari
aula. Aku tidak berani memintanya langsung. Aku menunduk.
Aku baru mendapatkan
nomor Nindya di semester 2. Itu pun karena aku tidak sengaja satu
kelompok dengan Nindya di sebuah mata kuliah. Aku rajin mengiriminya
pesan, isinya hanya menanyakan tugas saja.
Suatu ketika dosenku
menitipkan sebuah file yang harus kubagikan pada teman-temanku. Aku
tidak membawa flashdisk, Nindya membawa hardisk eksternal dan file itu
dimasukan ke dalam situ. Setelah itu minggu tenang sebelum UTS. Nindya
pulang kampung, aku tidak sempat meminta file itu. Kemudian Nindya
mengirimkannya ke emailku. Aku waktu itu gaptek, aku tidak mengerti
fungsi email.
Aku malu bertanya pada
Nindya. Aku bolak-balik membuka folder inbox tapi tetap kosong.
Akhirnya aku tidak mengirimkan file itu pada teman-temanku. Dosen itu
marah. Aku menceritakan kronologinya. Entah mengapa kemudian semua orang
menyalahkan Nindya. Nindya dikeluarkan dari kelas. Dosen itu tidak mau
Nindya berada di kelasnya lagi.
Kemudian setiap mata
kuliah dosen itu, Nindya harus ikut dengan kelas lain yang memiliki
dosen berbeda. Setelah semester 2 itu berakhir, aku ikut kursus internet
di kampusku secara Cuma-Cuma. Disitu, aku baru sadar, file yang dikirim
Nindya terlalu besar, maka email itu masuk ke folder SPAM.
Rian, ini
file-nya. Maaf aku pulang kampung, Ibu aku meninggal. Tadi pagi baru
dimakamin. Oh ya, kalo Senin depan aku belum masuk, tolong kasih tau aku
ada kepentingan keluarga. Sorry smsnya ngga bisa aku bales, pulsa aku
habis.
Itu adalah badan pesan
yang Nindya kirim padaku. Dadaku tiba-tiba sesak. Nindya memang tidak
kuliah di hari senin itu. Sejak sms terakhir aku meminta dia mengirimkan
file itu, dia tidak lagi membalas smsku. Kemudian setelah kejadian dia
diusir dari kelas itu, dia mengganti nomornya. Menghapus pertemananku di
facebook dengannya. Dan dia pulang kampung karena ibunya meninggal.
“Kamu nggak ngebela
aku. Aku ngerti kok kamu pasti nggak sempet baca email aku itu. Tapi,
harusnya kamu cerita kalo kamu gaptek. Harga diri kamu lebih mahal
banget.” Kata Nindya. “Aku tau kamu engga tau. Kamu hanya menilai aku
seobjektif mungkin, membaca fakta yang kamu tau, sama kayak orang lain.”
“Sekarang kamu
nyalahin aku. Iya aku gaptek! PUAS?” Aku berteriak lagi. Aku kesal pada
diriku sendiri. Begitu lemah. Begitu bodoh dan tolol yang diracik
menjadi satu. Begitu sombong dengan kebodohan dan ketotolanku yang
diracik sempurna itu. Aku enggan melihat kebenaran hanya karena aku
tidak mau merasa malu.
“Dani Cuma bilang,
‘Nind, kalau naik gunung bikin kamu tenang, naik gunung terus. Turunlah
ketika kamu siap. Orang lain nggak bisa liat kamu, makanya kamu harus
naik gunung. Bukan biar kamu bisa ngeliat dunia. Tapi biar dunia bisa
melihat kamu.’ Maka kamu benar, Rian, hanya aku yang bahagia ketika
perjalanan ini dimulai.
“Itu juga alasan aku
kenapa aku lebih memilih Dani, orang yang baru aku kenal. Dan melepaskan
kamu. Karena aku bakal terus sendiri meski pun ada kamu. Bukan aku yang
harusnya ngeliat tepat ke depan. Tapi kamu, Rian.”
Nindya menerobos
padang lavender di hadapannya. Aku masih berdiri mematung. Kali ini
rasanya tidak sakit. Dadaku membentuk lubang berbentuk huruf O yang
berbunyi oooo, panjang dan penuh pengertian.
Nindya tidak lagi
memasak atau membantu membangun tenda. Dia hanya duduk di atas
matrasnya. Tertidur di dalam sleeping bagnya. Hanya bergerak sesekali
untuk batuk atau menggaruk. Aku tidur di luar tenda lagi. Semalaman aku
berharap Nindya bangun lagi untuk bicara denganku. Tapi tidak. Dia
tidur. Hanya tidur.
Aku memasak makan
malam. Kami tidak membangunkan Nindya, tidak menawarinya makan atau
minum. Kami berlima memang tidak merasakan bahagia yang Nindya rasakan
dalam perjalanan ini. Hati kami bukan lapangan sepak bola yang dengan
lapang menerima hujan, ditumbuhi rumput liar, diinjak para pemain bola
dan menangkap tubuh-tubuh korban sliding tackle di atasnya. Bukan. Kami
bukan itu.
Besok paginya, ketika
aku bangun, Nindya sedang bergabung dengan kelompok lain yang sedang
berfoto saat matahari terbit. Tidak sepatah kata pun dia keluarkan
untukku. Tidak menyesakkan dada. Hatiku masih berbunyi ooooo, panjang
dan penuh pengertian.
Sampai di Ranu pane, aku mengeluarkan surat cinta Nindya dan menempelkannya di papan vandalisme. I love you, kemudian lukisan wajah Dani. Pacar, calon suami dan seorang kekasih yang memenangkan hati Nindya.
Di perjalanan pulang,
aku benar-benar mengintrospeksi segalanya. Aku mengerti mengapa Nindya
tidak pernah mendebatku. Tidak pernah menunjukan kemarahannya. Juga
tidak pernah tidak ramah padaku. Karena aku memang orang bodoh yang
sombong.
Dani memang
satu-satunya orang yang bisa membuat Nindya merasa dimengerti. Diam dan
cerewetnya. Ketika dia eksis dan ketika dia menghilang begitu saja.
Ketika dia teriak dan menangis. Hanya Dani.
Bisa kuprediksi Dani
akan menghajarku habis-habisan jika Nindya bercerita betapa brengseknya
aku meninggalkan Citra, Aura dan Siska terkena hipotermia dalam
perjalanan menuju puncak. Aku juga meninggalkan Nindya dengan Rena.
Aku benar, Nindya menahan perasaannya padaku. Tapi
itu bukan perasaan cinta. Ada kejujuran yang ingin Nindya sampaikan.
Tapi dia tahu bahwa nalarku tidak akan mampu menggapainya tanpa
perjalanan ini.
Nindya harus
mengajakku bepergian ratusan kilometer dari Bandung, berjalan hingga ke
atapnya tanah Jawa. Agar aku bisa menerima kenyataan. Aku memang bodoh
dan tolol, tapi aku bukan penyangkal. Aku memang tidak pernah mau
melihat sesuatu dari sisi Nindya.
Kereta melambat.
Bersiap memasuki peraduan sementaranya, stasiun Bandung. Kami berbaris
menuju pintu keluar gerbong. Nindya berdiri tepat di depanku. Carriernya
yang penuh itu menghalangi tubuhku untuk berdempet lebih dekat
dengannya. “Nind,” aku memanggilnya sambil menepuk pundaknya dua kali.
Nindya menoleh.
Menatapku. Tidak tersenyum. “Apa?” tanyanya. Bukan berarti tidak ramah.
Setelah apa yang terjadi, dia tidak mungkin tersenyum dengan tulus kan?
“Aku minta maaf.”
Kataku. “Kamu ngajarin aku banyak hal. Sejak kenal sama kamu, ada rasa
ngeganjel di dada. Itu bukan jakun aku yang ketelen, Nind.” Aku sedikit
terkekeh. Tapi Nindya menatapku serius. Sambungan gurauanku mungkin
belum sampai pada otaknya. “Aku berusaha menghindari sekuat tenaga untuk
suka sama kamu. Tapi aku nggak bisa. Kamu Cuma perlu tau. Di dada ini,
akhirnya aku merasa damai. Aku menemukan damai yang aku cari.”
Kereta berhenti.
Remnya kali ini tidak mulus. Para penumpang terdorong oleh gaya
sentripetal. Semua sekarang saling mendorong. Aku kehilangan kata-kata
lagi. Aku tidak tahu harus bicara apa disaat terakhir ini.
“Oh ya, kalo kamu menikah. Aku tetep mau diundang. Tolong yah. Aku janji Cuma makan satu porsi.”
Nindya tidak menjawab.
Dia melompat turun dari kereta itu. Aku kemudian mengikuti langkahnya.
Aku masih memikirkan kata-kata apa yang cocok untuk diucapkan sebelum
perpisahan ini. Tapi tidak ada. Aku tidak menemukannya.
“Bulan depan Rian. Janur kuning itu melengkung bulan depan. Kamu tau rumah aku kan?”
Comments
Post a Comment