—-
Aku sampai di
Kalimati. Nindya tertidur di dalam tenda, berselimutkan sleeping bag.
Bibirnya tidak biru. Tapi masih pucat. Aku duduk di sampingnya. Perlahan
menyentuh keningnya yang dingin. Nindya terbangun.
“Rian, kamu enggak
apa-apa, Rian?” Tanya Nindya padaku. Tangan Nindya keluar dari sleeping
bag dan meremas tanganku yang beku, tapi tidak sebeku hatiku.
“Dingin.” Jawabku.
“Sini, pake sleeping
bag aku.” Nindya membuka sleeping bagnya. Dia duduk. Menyelimutkan
sleeping bag hangat bekas tubuhnya. Kemudian Nindya sambil menggosok
punggungku dengan telapak tangannya. “Mata kamu penuh debu. Dibersiin
dulu.” Aku menggeleng. “Minum?”
Citra menatapku dari
luar tenda. Aku tidak bernafsu untuk membalas tatapan sinisnya. Nindya
masih sama seperti sebelum aku membuka suratnya. Tersenyum, kali ini
benar-benar bermaksud untuk ramah. Bukan untuk membuatku geer karena
merasa menggenapkan perasaannya.
“Mau aku bikinin
cokelat panas?” Tanya Nindya. Aku diam. Memperhatikan seksama maksud
kebaikan Nindya padaku. “Tau engga, Dani bilang kalo hot chocolate itu bukan cokelat panas, tapi cokelat seksi. Terus kalo cokelatnya udah dingin kan jadi cool, itu bukan cokelat dingin. Dia bilang…”
“Cokelat keren.” Selaku. “Kamu udah bilang itu berkali-kali. Bahkan sebelum kita ke Semeru.”
“Kamu inget ya?”
Nindya tersenyum lebar. Entah mengapa aku terus merasa senyumnya sama
seperti sebelum aku membuka suratnya. Masih. Masih membuatku geer. Tapi.
Ini keramahan. Ini hanya keramahan.
Setelah matahari cukup
tinggi, kami kembali ke Ranu Kumbolo. Kali ini aku melewati padang
lavender. Padang ini terasa indah ketika aku pertama melihatnya. Ya,
diisi rasa geerku. Sekarang…. Aku memasukkan tanganku ke dalam saku
jaketku, meremas erat surat cinta Nindya.
“Kenapa Rian?” Tanya
Nindya. Sadar bahwa saat dia membalikan tubuhnya, aku berada cukup jauh
dari rombongan. Nindya membiarkan rombongan kami jalan duluan. Aku
berjalan lambat agar Nindya bisa lebih dulu berjalan. Tapi dia tidak
berjalan. Menungguku.
“Duluan aja.”
“Nggak. Kita bareng
aja.” Jawab Nindya. “Ayo!” Nindya mengulurkan tangannya, menarik
lenganku yang masuk ke dalam saku jaketku. Surat Nindya yang ringsek itu
melompat keluar dan terjatuh di antara kami. Angin membawa surat itu
beberapa senti. Aku buru-buru mengambil surat itu.
“Maaf Nind.” Kataku. Aku tidak mengembalikan surat itu. Hanya memegangnya.
“Aku ngelukisnya susah
loh, Rian. Jadi ringsek gitu.” Kata Nindya sambil sedikit tertawa. Tawa
pahit. Ganjil. Dan ganjil adalah kata yang sebenarnya aku cari.
Kubilang senyum Nindya menggenapkan? Tidak, senyumnya selalu ganjil.
Karena dia sudah genap dengan sendirinya. Keberadaanku mengganjilkan.
“Aku….”
“Aku tau. Citra udah
ngomong sejak dia balik lagi ke Kelik.” Nindya kali ini memotong
ucapanku. “….dia lebih terobsesi untuk sampai di puncak. Aku nggak
sadar. Aku meracuni pikiran mereka. Padahal, persis kata Siska, Mahameru
tidak ada dalam resolusi hidup mereka bahkan dua puluh tahun ke depan.
Tapi, apa hidup harus selalu selaras dengan resolusi? Gimana kalo taun
depan dia nggak bisa punya resolusi lagi? Bukankah perjalanan yang
seakan memaksakan ini seharusnya jadi kesempatan emas.” Nindya berhenti.
Air mata menggenang di matanya. “Rian?”
“Aku nggak tau Nind.”
“Mungkin Cuma aku yang
seneng dengan perjalanan ini. Yang lainnya merasa musibah. Cuma aku
juga yang bisa liat kemegahan ciptaan Tuhan ini. Yang lainnya Cuma
berharap satu hal, balik ke Bandung dengan selamat. Padahal Rian,
jantungku mendesir, aku bisa ngedenger desirannya di leherku dengan
keras ketika ngeliat….” Nindya berhenti bicara.
Ya, jantung berdesir,
itu adalah ungkapan yang harusnya kuucapkan selain indah saat melihat
potongan-potongan keajaiban yang berbentuk puzzle dan lengkap di puncak
Mahameru sana. Jantungku berdesir juga saat ini, Nind. Kamu tidak tahu
atau tidak mau tahu.
“Aku nggak ngerti sama apa yang mereka omongin. Tapi aku sama kayak mereka, berharap cepet balik lagi ke Bandung.”
“Kamu ini nggak
ngeliat keindahan yang ada disini atau nggak mau liat? Kamu punya hati
buat apa?!” Nindya mulai bicara dengan nada setingkat lebih tinggi.
“STOP! Kamu sendiri
punya hati untuk apa? Untuk sekedar ngerasain keajaiban Tuhan di
gunung-gunung yang kamu daki? Kamu nggak bisa liat keajaiban Tuhan yang
udah ada di depan kamu selama ini, empat tahun ini?”
“Aku lagi ngomongin perjalanan ini, RIAN!”
“Ya, sama. Aku kesini
buat apa Nind? BUAT KAMU.” Aku berteriak. Aku benar-benar berteriak pada
seorang wanita. Aku belum pernah berteriak seperti ini sebelumnya.
“Tolong Nind, sekali aja dalam hidup kamu, kamu ngeliat apa yang ada di
depan mata kamu. Bukan bukit di atas sana. Bukan pohon itu. Bahkan bukan
bangkai pohon lavender kering ini!” Aku memukul pohon lavender kering
di hadapanku. “Liat yang ada di depan mata kamu, Nind! Kamu masih nggak
bisa liat? AKU! AKU NIND!”
Mata Nindya memincing,
memperhatikan kedua mataku yang mungkin sedang terbelalak liar menatap
balik ke dalam matanya. Bibir Nindya terbuka, aku yakin dia akan
menanyakan, “apa maksud kamu?”
“Aku tau Nind. Citra
dari awal udah nggak suka dengan perjalanan ini. Tas carriernya berat.
Dia nggak biasa! Di kereta dia kepanasan, dia belom pernah tersiksa
kayak gitu seumur hidupnya. Rena nggak tahan tidur dalam posisi duduk
terantuk-antuk. Makanan yang Cuma mie dan nasi nggak ada rasanya, itu
yang dipikirin sama Siska.
“Belum lagi jalan jauh dari Ranu Pane ke Ranu
Kumbolo, setiap kali mereka tanya masih jauh apa engga, kamu selalu
jawab nggak tau. Mereka tersiksa Nind. Kamu mau tau itu atau engga? Dan
memang Cuma kamu yang suka cita ada dalam penderitaan ini.
“Aku! Aku nunggu untuk
ngungkapin perasaan yang seharusnya aku ungkapin empat tahun lalu waktu
aku ketemu kamu di depan aula kampus. Di puncak sana Nind. Tapi kamu?
Kumpulan kata I love you kamu itu menyadarkan aku semuanya. Aku
sama butanya kayak kamu Nind. Mata aku kebuka sempurna di atas sana.
Aku ngeliat dunia! Demi Tuhan, Nind. Aku melihat dunia.
“Sekarang lebih nyata
Nind. Kamu yang berdiri di depan aku. Engga bermaksud untuk menunggu
pelukan aku. Wajah kamu, enggak pernah bermaksud memancing mata aku
untuk memperhatikan kamu di balik kaca mata item aku. Senyum kamu Nind,
yang selalu bikin aku geer itu….”
“Aku ngerti Rian.”
Nindya memotong. “Kita memang perlu ngomongin ini dari awal kita
berkonflik. Aku salah ketika milih ganti nomer, ngehapus pertemanan kita
di facebook terus nggak berhubungan lagi sama kamu. Itu semua nggak nyelesaiin masalah.”
“Memang itu aku yang aku pengen.”
“Di depan aula kampus.” Nindya memulai ingatan kami.
Di film 5 sentimeter,
Genta dan Riani menyelesaikan perasaan mereka di hadapan Ranu Kumbolo,
disaksikan dinginnya air danau bersejarah itu dan ribuan bintang di
langit. Aku, di tengah padang lavender Oro-Oro Ombo. Saling berteriak
dengan seorang wanita yang kucintai dan mematahkan perasaanku. Aku hanya
mampu berharap dialah yang akan menyembuhkan segalanya.
Comments
Post a Comment