—-
“Rian, kalo di puncak
Mahameru itu ada gas beracun. Yang aku tau, katanya jangan duduk, tetep
berdiri. Soalnya katanya juga, gas beracun itu Cuma setinggi pinggang.”
“Baca dari mana, Nind?” Tanyaku sambil masih mencontek tugas ekonomi makro milik Nindya di perpustakaan.
“Dari blog orang.”
“Orang mana?”
“Lupa lagi, keburu di-close sih.”
“Lain kali, coba kamu tanya dulu. Dia tau itu dari mana?”
“Tapi dia tau kalo di
puncak Mahameru itu ada nisannya Gie. Masa dia boong?” Nindya mulai
kesal karena pertanyaanku menjurus ke arah tidak percaya dari pada
menghargai pengetahuan Nindya tentang Mahameru.
“Semua orang juga tau.”
“Aku nggak tau.”
“Aku tau.” Jawabku. Aku berhenti menulis. Memandangi Nindya yang menatapku tanpa berkedip.
“Terus?”
“Aku sayang sama kamu,
Nindya…” Kataku. Mulutku terbuka menyebut Nindya, kemudian pasir masuk
ke dalam mulutku. Tiga tahun lalu seharusnya aku bisa mengucapkan
kata-kata itu. Aku memaksakan diriku bangkit. Membuka tasku kemudian
meminum air dan memaksakan mengunyah cokelat.
Tiga tahun lalu. Yang seharusnya merubah isi surat ini. Merubah sikap Nindya yang memilih menghapus pertemanan denganku di facebook
dan meluruskan semuanya. Lurus? Ya, semuanya sudah lurus. Sudah jelas.
Surat itu menerangkan segalanya. Segala perasaan Nindya padaku. Surat
Nindya masih kupegang. Aku meremasnya kemudian berniat melemparnya.
Berharap Tuhan menyimpan semua kecewaku bersama surat itu
selama-lamanya. Aku tidak kuat! Aku tidak kuat!
“NINDYAAAA!” Aku
berteriak di puncak Mahameru. Mengacungkan surat Nindya tinggi-tinggi.
Aku minta rubah isi surat itu. Tiga kata di dalamnya, I LOVE YOU itu.
Aku mohon, rubah, Tuhan….
Kertas itu kulempar.
Melambung jauh kemudian angin membawanya pergi. Aku tidak melihat. Aku
tidak mau tau. Aku sakit. Dada ini sesak. Aku memasukan kepalan tanganku
ke dalam saku bajuku.
Kalian semua, yang ada
di puncak ini. Tiang pancang, nisan Gie, pasir, setiap batu dan butir
hujan. Kalian saksinya. Sembuhkan hati ini, Tuhan.
Aku berdiri mematung
di hadapan tiang pancang bertuliskan Mahameru 3676 mdpl. Aku menangis.
Seorang pria menangis. Rasa sakit ini, sesak ini tidak bisa kutahan. Aku
merasa sia-sia. Selama ini, senyum Nindya, tangannya yang mengelusku di
atas jeep, perasaan bahwa aku menggenapkan, pemikiran bahwa Nindya
kecewa karena pacarku dulu melabraknya. Semua itu hanya khayalanku saja.
Senyumnya tidak pernah
bermaksud untuk mengungkapkan bahwa dia memang senang melihatku. Tidak.
Nindya memang selalu ramah. Kepada siapa dia tidak ramah? Dia selalu
ramah. Senyumnya adalah simbol.
Matahari semakin naik.
Seperti layangan yang semakin asyik menantang angin untuk terus naik ke
atas. Sakit itu masih ada. Tapi aku melangkahkan kakiku ke bawah.
Kembali ke tempatku. Sepanjang mataku yang lembab ini memandang, hanya
ada hamparan pasir vulkanik. Awan berarak membentuk jalan hingga ke
ujung horizon.
Aku duduk, menatap
matahari sambil memakan sisa cokelat. Tubuhku lebih hangat. Sekali lagi
aku menatap surat Nindya. Menatap kata I love you dengan seksama. Tidak berubah, tidak menjadi I hate you. Atau sedikitnya berubahlah menjadi I biasa-biasa aja you.
Setelah matahari lebih
tinggi, aku bisa melihat pendaki lain muncul dari kejauhan. Berusaha
menjejalkan kakinya di puncak Mahameru.
“Halo Mas, udah lama? Nggak kena badai?” Sapa seorang pendaki yang kemudian menepuk bahuku dan bersalaman denganku.
“Lumayan. Dari sebelum matahari terbit. Dingin aja sih.” Sahutku. “Mas, di bawah tadi ngeliat lima perempuan nggak?” Tanyaku.
“Oh, iya. Mereka turun
lagi. Tadi ada badai Mas. Yang tiga hipotermia. Yang dua di
belakangnya, satunya pingsan.” Jawab pendaki itu. Pikiranku langsung
tertuju pada Nindya. Yang pingsan itu pasti Nindya.
“Duluan Mas.” Kataku.
Aku menuruni pasir ke bawah. Tak tahu arah. Hanya mengikuti para pendaki
yang satu persatu berpapasan denganku. Meski pun hatiku sakit membaca
surat Nindya. Tapi, aku tidak rela juga melihat Nindya sakit.
“Rian, selalu ambil
kiri kalo turun dari Mahameru.” Nindya dengan semangat menjelaskan semua
detil Mahameru padaku. Padahal aku tidak tahu dimana Mahameru itu.
Bahkan aku tidak mengerti maksud kiri dari kata-kata Nindya.
“Kenapa?”
“Kalo ke kanan, nanti ke blank tujuh lima.”
“Blank apa?”
“Blank tujuh lima.”
Kata Nindya. “Itu jurang di samping Arcopodo. Bawahnya batu cadas.
Beuh!” Nindya bercerita dengan ekspresi ngeri terpancar di wajahnya.
“Terus…”
“Kamu udah liat kalo
bawahnya batu cadas dan letaknya di sebelah Arcopodo?” Tanyaku. Aku
memotong ucapan Nindya. Nidnya diam. Memutar matanya kemudian wajahnya
berubah menjadi kebingungan.
“Ya…. Engga sih, aku
Cuma baca dari blog aja.” Jawab Nindya. Sekarang tidak bersemangat.
“Lagian kamu kan tau aku nggak mau liat foto-foto tentang Semeru. Aku
mau mata aku suci ngeliat segala hal disana sebagai sesuatu yang baru
dan menakjubkan.”
“Pengetahuan kamu itu kayak mitos, banyak ‘katanya’ tapi nggak jelas kata siapa.”
“Sirik aja deh!” Kata Nindya sambil menutup buku yang sedang kubaca.
“Idih, ngambek.”
Godaku. Nindya belum puas, dia kemudian dengan sengaja mendorong tasku
dari atas meja dengan tangannya lalu memukul punggungku. Masih belum
puas juga, kakinya menginjak kakiku.
“Pokoknya dari puncak Mahameru itu kalo ngeliat ke kanan arah mau turun, bisa ngeliat Bali.” Kata Nindya.
“Oh ya?” Aku sengaja menguji kesabaran Nindya. Tidak ada jawaban. Nindya cemberut. “Huuu…. Bali-nage kamu ngambek.” Kataku.
“Ih Rian! Apaan sih?
Jijik banget. Sok imut!” Kata Nindya sambil tertawa dan menarik lengan
bajuku. Seperti biasa, aku selalu menghindari tarikannya itu, bajuku
benar-benar ditarik dan itu bisa saja sobek.
Bahkan di saat hati
perih seperti ini. Mengingat Nindya adalah satu-satunya hal yang bisa
kulakukan. Aku melirik ke arah kananku. Hamparan gunung, lembah, kota,
semuanya seperti miniatur. Samudera Hindia.
Tuhan tidak mengijinkanku melihat Bali, Nind….
Comments
Post a Comment