Skip to main content

Mencari Damai bagian 12

—-
                “Rian, kalo di puncak Mahameru itu ada gas beracun. Yang aku tau, katanya jangan duduk, tetep berdiri. Soalnya katanya juga, gas beracun itu Cuma setinggi pinggang.”
                “Baca dari mana, Nind?” Tanyaku sambil masih mencontek tugas ekonomi makro milik Nindya di perpustakaan.
                “Dari blog orang.”
                “Orang mana?”
                “Lupa lagi, keburu di-close sih.”
                “Lain kali, coba kamu tanya dulu. Dia tau itu dari mana?”
                “Tapi dia tau kalo di puncak Mahameru itu ada nisannya Gie. Masa dia boong?” Nindya mulai kesal karena pertanyaanku menjurus ke arah tidak percaya dari pada menghargai pengetahuan Nindya tentang Mahameru.
                “Semua orang juga tau.”
                “Aku nggak tau.”
                “Aku tau.” Jawabku. Aku berhenti menulis. Memandangi Nindya yang menatapku tanpa berkedip.
                “Terus?”
                “Aku sayang sama kamu, Nindya…” Kataku. Mulutku terbuka menyebut Nindya, kemudian pasir masuk ke dalam mulutku. Tiga tahun lalu seharusnya aku bisa mengucapkan kata-kata itu. Aku memaksakan diriku bangkit. Membuka tasku kemudian meminum air dan memaksakan mengunyah cokelat.
                Tiga tahun lalu. Yang seharusnya merubah isi surat ini. Merubah sikap Nindya yang memilih menghapus pertemanan denganku di facebook dan meluruskan semuanya. Lurus? Ya, semuanya sudah lurus. Sudah jelas. Surat itu menerangkan segalanya. Segala perasaan Nindya padaku. Surat Nindya masih kupegang. Aku meremasnya kemudian berniat melemparnya. Berharap Tuhan menyimpan semua kecewaku bersama surat itu selama-lamanya. Aku tidak kuat! Aku tidak kuat!
                “NINDYAAAA!” Aku berteriak di puncak Mahameru. Mengacungkan surat Nindya tinggi-tinggi. Aku minta rubah isi surat itu. Tiga kata di dalamnya, I LOVE YOU itu. Aku mohon, rubah, Tuhan….
                Kertas itu kulempar. Melambung jauh kemudian angin membawanya pergi. Aku tidak melihat. Aku tidak mau tau. Aku sakit. Dada ini sesak. Aku memasukan kepalan tanganku ke dalam saku bajuku.
                Kalian semua, yang ada di puncak ini. Tiang pancang, nisan Gie, pasir, setiap batu dan butir hujan. Kalian saksinya. Sembuhkan hati ini, Tuhan.
                Aku berdiri mematung di hadapan tiang pancang bertuliskan Mahameru 3676 mdpl. Aku menangis. Seorang pria menangis. Rasa sakit ini, sesak ini tidak bisa kutahan. Aku merasa sia-sia. Selama ini, senyum Nindya, tangannya yang mengelusku di atas jeep, perasaan bahwa aku menggenapkan, pemikiran bahwa Nindya kecewa karena pacarku dulu melabraknya. Semua itu hanya khayalanku saja.
                Senyumnya tidak pernah bermaksud untuk mengungkapkan bahwa dia memang senang melihatku. Tidak. Nindya memang selalu ramah. Kepada siapa dia tidak ramah? Dia selalu ramah. Senyumnya adalah simbol.
                Matahari semakin naik. Seperti layangan yang semakin asyik menantang angin untuk terus naik ke atas. Sakit itu masih ada. Tapi aku melangkahkan kakiku ke bawah. Kembali ke tempatku. Sepanjang mataku yang lembab ini memandang, hanya ada hamparan pasir vulkanik. Awan berarak membentuk jalan hingga ke ujung horizon.
                Aku duduk, menatap matahari sambil memakan sisa cokelat. Tubuhku lebih hangat. Sekali lagi aku menatap surat Nindya. Menatap kata I love you dengan seksama. Tidak berubah, tidak menjadi I hate you. Atau sedikitnya berubahlah menjadi I biasa-biasa aja you.
                Setelah matahari lebih tinggi, aku bisa melihat pendaki lain muncul dari kejauhan. Berusaha menjejalkan kakinya di puncak Mahameru.
                “Halo Mas, udah lama? Nggak kena badai?” Sapa seorang pendaki yang kemudian menepuk bahuku dan bersalaman denganku.
                “Lumayan. Dari sebelum matahari terbit. Dingin aja sih.” Sahutku. “Mas, di bawah tadi ngeliat lima perempuan nggak?” Tanyaku.
                “Oh, iya. Mereka turun lagi. Tadi ada badai Mas. Yang tiga hipotermia. Yang dua di belakangnya, satunya pingsan.” Jawab pendaki itu. Pikiranku langsung tertuju pada Nindya. Yang pingsan itu pasti Nindya.
                “Duluan Mas.” Kataku. Aku menuruni pasir ke bawah. Tak tahu arah. Hanya mengikuti para pendaki yang satu persatu berpapasan denganku. Meski pun hatiku sakit membaca surat Nindya. Tapi, aku tidak rela juga melihat Nindya sakit.
                “Rian, selalu ambil kiri kalo turun dari Mahameru.” Nindya dengan semangat menjelaskan semua detil Mahameru padaku. Padahal aku tidak tahu dimana Mahameru itu. Bahkan aku tidak mengerti maksud kiri dari kata-kata Nindya.
                “Kenapa?”
                “Kalo ke kanan, nanti ke blank tujuh lima.”
                “Blank apa?”
                “Blank tujuh lima.” Kata Nindya. “Itu jurang di samping Arcopodo. Bawahnya batu cadas. Beuh!” Nindya bercerita dengan ekspresi ngeri terpancar di wajahnya. “Terus…”
                “Kamu udah liat kalo bawahnya batu cadas dan letaknya di sebelah Arcopodo?” Tanyaku. Aku memotong ucapan Nindya. Nidnya diam. Memutar matanya kemudian wajahnya berubah menjadi kebingungan.
                “Ya…. Engga sih, aku Cuma baca dari blog aja.” Jawab Nindya. Sekarang tidak bersemangat. “Lagian kamu kan tau aku nggak mau liat foto-foto tentang Semeru. Aku mau mata aku suci ngeliat segala hal disana sebagai sesuatu yang baru dan menakjubkan.”
                “Pengetahuan kamu itu kayak mitos, banyak ‘katanya’ tapi nggak jelas kata siapa.”
                “Sirik aja deh!” Kata Nindya sambil menutup buku yang sedang kubaca.
                “Idih, ngambek.” Godaku. Nindya belum puas, dia kemudian dengan sengaja mendorong tasku dari atas meja dengan tangannya lalu memukul punggungku. Masih belum puas juga, kakinya menginjak kakiku.
“Pokoknya dari puncak Mahameru itu kalo ngeliat ke kanan arah mau turun, bisa ngeliat Bali.” Kata Nindya.
“Oh ya?” Aku sengaja menguji kesabaran Nindya. Tidak ada jawaban. Nindya cemberut. “Huuu…. Bali-nage kamu ngambek.” Kataku.
                “Ih Rian! Apaan sih? Jijik banget. Sok imut!” Kata Nindya sambil tertawa dan menarik lengan bajuku. Seperti biasa, aku selalu menghindari tarikannya itu, bajuku benar-benar ditarik dan itu bisa saja sobek.
                Bahkan di saat hati perih seperti ini. Mengingat Nindya adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan. Aku melirik ke arah kananku. Hamparan gunung, lembah, kota, semuanya seperti miniatur. Samudera Hindia.
                Tuhan tidak mengijinkanku melihat Bali, Nind….

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan