Skip to main content

Mencari Damai bagian 11

—-
                “Rian! Rian tungguin kita. RIAAANNN!” Citra berteriak ke arah Rian. Rian berada beberapa puluh meter di depan Citra. Tidak menggubris sedikit pun meski pun Citra sudah berteriak sekuat tenaga. Kabut menerpa Citra, Aura dan Siska. Aura bergidik, menahan dingin dan ketakutan. Dia belum pernah ada di gunung setinggi itu sebelumnya. Terbersit di kepala Aura, rasa takut akan kematian.
                Siska berteriak ke bawah, memanggil-manggil Nindya dan Rena. Matanya sudah basah oleh air mata. Siska dan Aura sama-sama bingung ketika Rian dan Citra bertengkar. Mereka satu frekuensi dalam berpikir, teringat pada film Descendent. Mereka bertengkar kemudian mati satu persatu.
                Kali ini, mereka tidak perlu bingung, kematian begitu dekat. Seolah tinggal menunggu waktu. Gemetar di tubuh sudah tidak bisa ditahan lagi. Mereka duduk berdekatan.
                “Jangan tidur Cit.” Bisik Aura. Bisikan Aura terlalu lemah. Citra tidak mendengarnya. Lagi pula mata Citra sudah tidak bisa melihat dengan jelas. Rasa kantuk merenggut kesadarannya. “Ka, jangan tidur ka…. Inget film di gunung es nggak? Kita bisa mati kalo tidur, Ka.” Lagi-lagi Aura berbisik.
                “A-ku ke-ding-ngin-nan Rr-aa.” Siska mendekap tubuhnya lebih erat. Siska masih berharap bisa melihat Bandung lagi. Berharap masih bisa menyelesaikan project harlem shake-nya di beberapa Mall di bandung. Dia belum ingin meninggalkan dunia ini.
                Suara orang bersahutan. Lampu senter. Di antara kabut. Siska sadar ada seseorang yang menghampirinya. Siska hanya mampu membuka mulutnya, tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Kemudian lidahnya menyentuh cairan hangat. Rasanya manis. Minuman hangat dengan rasa jahe. Kesadaran Siska kembali.
                “Mbak! Mbak! MBAK!” Suara itu semakin keras didengar oleh telinga Siska. “SADAR MBAK!”
                “Temen saya….” Siska berbisik. Dia tidak mengerti mengapa dia ikut-ikutan dengan Aura yang suka berbisik-bisik.
                “Ayo turun Mbak, ada badai.” Siska mengikuti suara itu. Dia melihat ke belakang, Aura dan Citra sedang dibawa oleh orang yang lain. Siska belum sepenuhnya mengenali orang-orang itu. Tapi semakin menjauh dari puncak, Siska semakin mengenali sekitarnya.
                Orang yang lain memapah Citra. Citra melepaskan pegangan orang itu. Setelah meminum beberapa teguk minuman hangat tadi, energinya kembali pulih. Dia harus ke puncak. Dia mulai mendaki lagi. Orang yang menolong Citra menarik Citra untuk membawa Citra ke bawah. “Jangan maksa! Ada badai di sana! Kamu mau sampe puncak tapi pulang tinggal nama?!”
                Siska berjalan dipapah oleh orang itu entah berapa kali. Tubuh orang itu lebih besar dari Siska dan seperti tidak terbebani meski pun harus memapah Siska. Siska mengenali wajah itu, yang bibirnya membiru. Orang itu kemudian memeluk Siska erat.
                “Nind. Rian Nind. Dia di atas. Kita panggilin tapi dia nggak nyaut.” Kata Siska. Air matanya meleleh lagi.
                “Ngga apa-apa, Sis. Ngga apa-apa. Kamu istirahat dulu.” Suara Nindya khas, selalu berhasil menenangkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Nindya kemudian melepaskan pelukannya pada Siska, membantu orang lain yang kewalahan membawa Citra.
                “Teman aku satu lagi masih di atas. Aku harus kesana.” Kata Nindya. “Namanya Rian.”

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan