—-
“Rian! Rian tungguin
kita. RIAAANNN!” Citra berteriak ke arah Rian. Rian berada beberapa
puluh meter di depan Citra. Tidak menggubris sedikit pun meski pun Citra
sudah berteriak sekuat tenaga. Kabut menerpa Citra, Aura dan Siska.
Aura bergidik, menahan dingin dan ketakutan. Dia belum pernah ada di
gunung setinggi itu sebelumnya. Terbersit di kepala Aura, rasa takut
akan kematian.
Siska berteriak ke
bawah, memanggil-manggil Nindya dan Rena. Matanya sudah basah oleh air
mata. Siska dan Aura sama-sama bingung ketika Rian dan Citra bertengkar.
Mereka satu frekuensi dalam berpikir, teringat pada film Descendent. Mereka bertengkar kemudian mati satu persatu.
Kali ini, mereka tidak
perlu bingung, kematian begitu dekat. Seolah tinggal menunggu waktu.
Gemetar di tubuh sudah tidak bisa ditahan lagi. Mereka duduk berdekatan.
“Jangan tidur Cit.”
Bisik Aura. Bisikan Aura terlalu lemah. Citra tidak mendengarnya. Lagi
pula mata Citra sudah tidak bisa melihat dengan jelas. Rasa kantuk
merenggut kesadarannya. “Ka, jangan tidur ka…. Inget film di gunung es
nggak? Kita bisa mati kalo tidur, Ka.” Lagi-lagi Aura berbisik.
“A-ku ke-ding-ngin-nan
Rr-aa.” Siska mendekap tubuhnya lebih erat. Siska masih berharap bisa
melihat Bandung lagi. Berharap masih bisa menyelesaikan project harlem shake-nya di beberapa Mall di bandung. Dia belum ingin meninggalkan dunia ini.
Suara orang
bersahutan. Lampu senter. Di antara kabut. Siska sadar ada seseorang
yang menghampirinya. Siska hanya mampu membuka mulutnya, tidak bisa
mengatakan apa-apa lagi. Kemudian lidahnya menyentuh cairan hangat.
Rasanya manis. Minuman hangat dengan rasa jahe. Kesadaran Siska kembali.
“Mbak! Mbak! MBAK!” Suara itu semakin keras didengar oleh telinga Siska. “SADAR MBAK!”
“Temen saya….” Siska berbisik. Dia tidak mengerti mengapa dia ikut-ikutan dengan Aura yang suka berbisik-bisik.
“Ayo turun Mbak, ada
badai.” Siska mengikuti suara itu. Dia melihat ke belakang, Aura dan
Citra sedang dibawa oleh orang yang lain. Siska belum sepenuhnya
mengenali orang-orang itu. Tapi semakin menjauh dari puncak, Siska
semakin mengenali sekitarnya.
Orang yang lain
memapah Citra. Citra melepaskan pegangan orang itu. Setelah meminum
beberapa teguk minuman hangat tadi, energinya kembali pulih. Dia harus
ke puncak. Dia mulai mendaki lagi. Orang yang menolong Citra menarik
Citra untuk membawa Citra ke bawah. “Jangan maksa! Ada badai di sana!
Kamu mau sampe puncak tapi pulang tinggal nama?!”
Siska berjalan dipapah
oleh orang itu entah berapa kali. Tubuh orang itu lebih besar dari
Siska dan seperti tidak terbebani meski pun harus memapah Siska. Siska
mengenali wajah itu, yang bibirnya membiru. Orang itu kemudian memeluk
Siska erat.
“Nind. Rian Nind. Dia di atas. Kita panggilin tapi dia nggak nyaut.” Kata Siska. Air matanya meleleh lagi.
“Ngga apa-apa, Sis.
Ngga apa-apa. Kamu istirahat dulu.” Suara Nindya khas, selalu berhasil
menenangkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Nindya kemudian
melepaskan pelukannya pada Siska, membantu orang lain yang kewalahan
membawa Citra.
“Teman aku satu lagi masih di atas. Aku harus kesana.” Kata Nindya. “Namanya Rian.”
Comments
Post a Comment