Skip to main content

Mencari Damai bagian 10

—-
                Setelah beberapa ratus meter berjalan dan tinggal beberapa puluh meter ke puncak, aku melihat ke belakang. Kosong. Tidak ada Citra, Aura atau Siska di belakangku. “CITRA! SISKA! AURA!” Aku meneriaki nama mereka tapi tidak ada jawaban. Kabut memutus pandanganku ke bawah. Satu-satunya jalan yang kulihat adalah ke puncak. Aku berjalan mencoba menggapai puncak. Di sana aku sendirian. Tidak ada siapa pun.
                Aku mengerti bahwa itu adalah puncak tertinggi di pulau Jawa, tapi mengapa begitu sepi? Aku berharap di sini ada pendaki lain. Tapi hanya aku. Aku tercekat. Aku tidak tahu harus kemana. Aku mengeluarkan kamera digital dan mulai mengambil semua gambar situasi di sekelilingku. Semuanya kabut. Tiba-tiba aku teringat pada Mbah Maridjan. Jangan-jangan ini wedhus gembel?
                Aku membuka sarung tanganku, meraba kabut di hadapanku tapi tanganku tidak melepuh, aku menyentuh wajahku, wajahku masih utuh. Lalu kenapa tidak ada orang? Begitu sepi.
                Matahari mulai terbit perlahan. Warnanya sekarang merah, tidak seperti matahari yang kulihat saat di Ranu Kumbolo bersama Nindya. Aku menjepret gambar sebanyak-banyaknya. Nindya mungkin melewatkan matahari terbit ini, tapi aku tidak boleh melewatkan kesempatan mengabadikan momen ini. Matahari terlihat jelas. Awan berarak di langit seperti kasur empuk yang menyamankan kepala siapa saja yang menempel di atasnya.
                Tubuhku masih menggigil. Mataharinya belum terlalu tinggi untuk menghangatkan tubuhku. Aku teringat pada surat yang diberikan Nindya. Aku membayangkan surat itu akan diberikan Nindya padaku seharusnya saat aku dan dia berada di puncak.
                Sebuah surat cinta. Dan aku lupa membawa pulpen untuk menuliskan jawabannya untuk Nindya. Seharusnya aku membawa pulpen. Nindya merencanakan perjalanan ini, surat ini, semuanya. Sedangkan aku hanya berbekal perasaan yang butuh pengakuan. Aku terlalu santai.
Tubuhku masih menggigil. Kabut dengan kristal esnya menembus jaketku. Aku bahkan merasa bahwa bajuku kini basah. Perlahan aku membuka kertas yang diberikan oleh Nindya. Jantungku berdegup semakin kencang.  Kata-katanya yang bilang bahwa aku harus membawa suratnya ke puncak Mahameru terngiang-ngiang di telingaku. Aku akan mengutarakan perasaanku pada Nindya di Ranu Kumbolo, seperti Genta pada Riani.
Mataku menelusuri kata-kata di dalam surat itu. I LOVE YOU, kata surat itu. Aku tersenyum lebar. Hanya ada kata itu di dalam surat itu. Tidak ada nama atau kata-kata lain. Aku memperhatikan surat itu baik-baik.
                Tiba-tiba aku tidak lagi merasa dingin. Semuanya kebas. Aku bisa merasakan sesuatu yang hangat menggenang di mataku. Aku berlutut. Masih memegangi surat Nindya. Aku tidak memiliki kesempatan lagi. Surat itu adalah surat vonis terpahit yang pernah kubaca.
                Aku pernah divonis terkena bronchitis. Waktu itu aku menangis meski pun tidak tahu apa itu bronchitis. Tapi penyakit itu tidak juga kambuh. Dan aku merasa baik-baik saja. Tapi surat ini, seperti surat vonis bahwa aku akan mati selesai membaca surat itu.
                Nafasku sesak. Tubuhku terjatuh di pasir. Pasir itu masuk ke dalam mataku. Aku tidak tahu harus seperti apa lagi. Aku tidak tahu harus berpikir bagaimana lagi. Aku hanya ingin… pulang.

Comments

Popular posts from this blog

aturan-aturan

Kita tertawa kemarin. Kau ceritakan kisahmu, aku mendengarkan. Itulah aturan utamanya . Dan aku mengikutinya dengan baik sejauh ini. Selama ini.  Aku takkan melihat kemana-mana lagi dan hanya menatap satu titik. Matamu. Itu adalah aturan kedua . Aku akan banyak diam. Mengikuti alur ejekan dengan senyum dan berharap malam segera merayap datang. Aku diharuskan berhati pelawak. Tak boleh memasukan satu kata jahilpun dalam hatiku agar tak terluka. Itu aturan yang ketiga . Dari semua aturan yang tersedia. Selama ini aku melakukannya dengan baik. Aku melewati alurnya dengan sabar. Aku tak pernah mengeluh. Aku lebih banyak tertawa dan selalu kuucapkan terimakasih untuk tawa hari ini . Lalu apa salahku? Kenapa tiba-tiba kalian membuatku merasa seperti orang jahat ? Apakah aku melewatkan salah satu aturan itu? Apakah aku melanggar aturan yang tersirat itu? Aku dibuat untuk merasa bersalah tanpa alasan yang jelas! Aku dibuat bingung dengan sikap yang mendadak dingin dan senyum kecut. Anggap s

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.