—-
Setelah beberapa ratus
meter berjalan dan tinggal beberapa puluh meter ke puncak, aku melihat
ke belakang. Kosong. Tidak ada Citra, Aura atau Siska di belakangku.
“CITRA! SISKA! AURA!” Aku meneriaki nama mereka tapi tidak ada jawaban.
Kabut memutus pandanganku ke bawah. Satu-satunya jalan yang kulihat
adalah ke puncak. Aku berjalan mencoba menggapai puncak. Di sana aku
sendirian. Tidak ada siapa pun.
Aku mengerti bahwa itu
adalah puncak tertinggi di pulau Jawa, tapi mengapa begitu sepi? Aku
berharap di sini ada pendaki lain. Tapi hanya aku. Aku tercekat. Aku
tidak tahu harus kemana. Aku mengeluarkan kamera digital dan mulai
mengambil semua gambar situasi di sekelilingku. Semuanya kabut.
Tiba-tiba aku teringat pada Mbah Maridjan. Jangan-jangan ini wedhus gembel?
Aku membuka sarung
tanganku, meraba kabut di hadapanku tapi tanganku tidak melepuh, aku
menyentuh wajahku, wajahku masih utuh. Lalu kenapa tidak ada orang?
Begitu sepi.
Matahari mulai terbit
perlahan. Warnanya sekarang merah, tidak seperti matahari yang kulihat
saat di Ranu Kumbolo bersama Nindya. Aku menjepret gambar
sebanyak-banyaknya. Nindya mungkin melewatkan matahari terbit ini, tapi
aku tidak boleh melewatkan kesempatan mengabadikan momen ini. Matahari
terlihat jelas. Awan berarak di langit seperti kasur empuk yang
menyamankan kepala siapa saja yang menempel di atasnya.
Tubuhku masih
menggigil. Mataharinya belum terlalu tinggi untuk menghangatkan tubuhku.
Aku teringat pada surat yang diberikan Nindya. Aku membayangkan surat
itu akan diberikan Nindya padaku seharusnya saat aku dan dia berada di
puncak.
Sebuah surat cinta.
Dan aku lupa membawa pulpen untuk menuliskan jawabannya untuk Nindya.
Seharusnya aku membawa pulpen. Nindya merencanakan perjalanan ini, surat
ini, semuanya. Sedangkan aku hanya berbekal perasaan yang butuh
pengakuan. Aku terlalu santai.
Tubuhku masih menggigil. Kabut dengan kristal esnya
menembus jaketku. Aku bahkan merasa bahwa bajuku kini basah. Perlahan
aku membuka kertas yang diberikan oleh Nindya. Jantungku berdegup
semakin kencang. Kata-katanya yang bilang bahwa aku harus
membawa suratnya ke puncak Mahameru terngiang-ngiang di telingaku. Aku
akan mengutarakan perasaanku pada Nindya di Ranu Kumbolo, seperti Genta
pada Riani.
Mataku menelusuri kata-kata di dalam surat itu. I
LOVE YOU, kata surat itu. Aku tersenyum lebar. Hanya ada kata itu di
dalam surat itu. Tidak ada nama atau kata-kata lain. Aku memperhatikan
surat itu baik-baik.
Tiba-tiba aku tidak
lagi merasa dingin. Semuanya kebas. Aku bisa merasakan sesuatu yang
hangat menggenang di mataku. Aku berlutut. Masih memegangi surat Nindya.
Aku tidak memiliki kesempatan lagi. Surat itu adalah surat vonis
terpahit yang pernah kubaca.
Aku pernah divonis
terkena bronchitis. Waktu itu aku menangis meski pun tidak tahu apa itu
bronchitis. Tapi penyakit itu tidak juga kambuh. Dan aku merasa
baik-baik saja. Tapi surat ini, seperti surat vonis bahwa aku akan mati
selesai membaca surat itu.
Nafasku sesak. Tubuhku
terjatuh di pasir. Pasir itu masuk ke dalam mataku. Aku tidak tahu
harus seperti apa lagi. Aku tidak tahu harus berpikir bagaimana lagi.
Aku hanya ingin… pulang.
Comments
Post a Comment