—-
Tengah malam, kami
menyiapkan semua perlengkapan dan menutup tenda yang semakin kencang
diterpa angin. Aku menggunakan baju berlapis, mengikat leherku lebih
rapat dengan syalku. Angin menjadi musuh terbesar di Kalimati. Tubuhku
menggigil dahsyat.
“Jangan diem. Kita
harus bergerak biar nggak dingin.” Kata Nindya. Bibirnya membiru saat
kusenter dengan headlamp-ku. Nindya memimpin doa lagi. Kemudian langkah
kami dimulai. Puncak Mahameru terlihat sangat dekat dari Kalimati. Tapi
pelajaran yang bisa kita ambil dari perjalanan kemarin dan kemarinnya
lagi adalah, Ranu Kumbolo tidak dekat. Puncak pun tidak dekat dari
Jambangan. Dan sekarang, puncak pun tidak dekat meski pun sudah sampai
di Kalimati.
Kami melewati hutan
pinus. Mudah mengenali pinus karena bentuk daunnya yang berbeda dari
pohon kebanyakan. Daun pinus kering berserakan sepanjang jalan menuju
puncak. Di depanku, beberapa kali para gadis terjatuh atau melorot lagi
setelah mencoba meniti tanjakan berpasir. Nindya terlihat tangguh di
posisi paling depan.
Dari bawah aku bisa
melihat headlamp-nya tidak hanya menyinari jalan yang ditempuhnya, tapi
juga sekitar. Membaca jejak. Ada sebuah pita berwarna merah yang sengaja
diikatkan ke ranting-ranting kering untuk memberi petunjuk arah yang
benar.
“Sehat semua?” Tanya
Nindya. Suaranya tertahan karena dia menutup hidung dan mulutnya dengan
syal. Dia kembali menghitung meski pun kali ini aku tidak melihat gerak
bibirnya merapalkan angka satu hingga enam. Dia menatapku. Aku tahu dia
pasti tersenyum.
“Gimana di atas sana, sehat?”
“Dingin! Cetar membana badai pasir Arcopodo!” Sahut Nindya dengan tawa.
“Arca apa?”
“Kita udah sampe
Arcopodo! Sebentar lagi Kelik.” Kata Nindya. Aku tidak begitu mengerti
maksud kata-katanya. Aku hanya melambaikan jempolku yang tertutup sarung
tangan dua lapis.
Di tempat bernama
Kelik. Batas vegetasi terakhir menuju puncak Mahameru. Di hadapan kami,
pasir terhampar. Jika waktu kecil aku suka menaiki pasir tetangga yang
akan membangun rumah dan pasir itu kecil, kali ini pasir ini aku yakin
mampu membuat ribuan rumah.
“Ini Cemoro Tunggal.”
Kata Nindya menunjuk salah satu pohon cemara. Sebenarnya, satu-satunya
pohon cemara. “Siap yah, perjalanan sesungguhnya baru dimulai.”
Aku memperhatikan
sekitar, sebelah mana kiranya tempat flm 5 sentimeter syuting? Aku tidak
bisa mengenalinya sama sekali. Semua terlihat sama. Berpasir. Dingin.
Gelap. Dan di depanku hanya ada pantat Rena. Aku memilih menunduk.
Lima langkah kami
mendaki, dua langkah pasir itu turun ke bawah. Terus seperti itu. Aku
mulai putus asa. Jari jemari tanganku tidak mampu merasakan apa-apa. Aku
kesulitan membuka syal yang membekap hidungku semakin erat. Mataku
sakit kemasukan pasir dari pijakan Rena dan tubuhku menggigil hebat.
“Sehat semuanya?”
Tanya Nindya, sekali lagi. Kemudian dia terbatuk. Pasir pasti masuk ke
dalam tenggorokannya. Aku berlari ke arah Nindya, memberikan air padanya
dan mengestafetkan air itu pada yang lain.
“Nind, tukeran! Aku di
paling depan.” Kata Citra. Nindya mengerutkan keningnya. Aku menatap
Citra. Untuk apa bertukar posisi? Toh Citra tidak tahu arah yang benar
untuk naik.
“Oke.” Kata Nindya.
Ninyda membiarkan Citra berjalan lebih dulu, kemudian Siska. Aura dan
Rena sempat ditawari untuk berjalan lebih dulu tapi mereka menolak.
“Rian, kamu di tengah, jagain Citra sama Siska. Aku di belakang sama
Aura dan Rena. Tetep naik lurus yah.”
Aku kemudian mengekor
di belakang pantat Siska kali ini. Di depanku ada tiga orang gadis yang
tidak membuatku bersemangat untuk berjalan. Aku berkali-kali membalik ke
belakang, memperhatikan apakah Nindya baik-baik saja. Sejauh ini dia
mengikuti dengan baik.
Kami beristirahat lagi
setelah berjalan hampir dua ratus meter kira-kira. Kali ini Rena
meminta berjalan paling depan agar dia tidak ketinggalan jauh. Dia
merasa bahwa Citra berjalan terlalu cepat hingga dia kesulitan mengikuti
dari belakang. Posisi kembali di rubah. Aku masih tetap di tengah.
Tak lama setelah
pergantian itu, Citra menggerutu karena Rena berjalan terlalu lambat.
Citra kemudian berdebat dengan Rena tentang tempo berjalan. Apa mau
dikata, Rena kelelahan, semua kelelahan. Mungkin hanya Citra bersemangat
memaksakan untuk ke puncak.
Citra berada di posisi
paling depan lagi. Kali ini Rena tepat ada di belakang Citra. Citra
seperti seorang kusir dengan pecut di tangannya dan Rena yang malang
menjadi kuda. Bedanya, sekarang ini kusir berada di depan kuda. Citra
memecut Rena dengan kata-katanya yang kasar. Nindya tetap berada di
belakang, mungkin tidak mendengar perkelahian antara Citra dan Rena.
“CUKUP!” Teriakku. “Kita nggak akan bisa ke puncak kalo kayak gini terus! Kita harus kerjasama, CITRA!”
“Aku disini udah kerjasama! Aku bantuin Rena!”
“Kamu bukan bantuin, kamu teriakin Rena dari tadi. Itu sama sekali nggak ngebantu Rena!”
“Apa bedanya sama
Nindya? Dia juga teriak-teriak nggak jelas. Kamu nggak marah kan?
Ngapain kamu marah sama aku?” Citra berteriak tak kalah keras.
“Ada apa ini kawan?” Nindya berteriak dari bawah.
“Udah nggak usah berantem.” Kata Siska. “Kamu, Citra, aku, sama Aura duluan aja. Biar Rena sama Nindya.”
“Nggak! Nindya nggak
akan bisa nanganin Rena kalo ada apa-apa!” Protesku. Rena memiliki tubuh
gempal, meski pun tidak segempal Ian di film 5 sentimeter, tapi Rena
benar-benar ‘subur’.
“Ada apa ini?” Tanya Nindya. “Kok teriak-teriak?”
Aura menjelaskan
dengan singkat pembagian kelompok barusan agar kita semua tetap bisa
sampai puncak. Nindya tersenyum saja dengan bibirnya yang membiru.
“Biar aku sama Rena, kalian duluan aja ke puncak.” Kataku.
“Jangan, gini aja.
Rian, kamu ngejagain Citra sama yang lain, aku nggak apa-apa kok sama
Rena. Lagi pula aku juga cape. Aku pelan-pelan aja. Udah jangan
teriak-teriak. Sampe ketemu di puncak, semuanya!” Kata Nindya. Rena
terisak. Mungkin merasa tersakiti karena dia menjadi penyebab
pertengkaran kami.
“Sebentar, Rian. Aku
nitipin ini yah. Tolong, bawa ke puncak.” Kata Nindya. Nindya
menyerahkan sebuah kertas padaku. Pertengkaranku bersama Citra melupakan
tujuanku untuk mengungkapkan perasaan pada Nindya. Aku mengambil kertas
di tangan Nindya kemudian dengan sengaja memegang tangan Nindya dan
meremasnya dengan erat.
“Aku tunggu kamu di puncak, Nind.” Kataku. Nindya tersenyum. Setelah itu aku pergi. Aku
tidak membantah kata-kata Nindya. Aku bergerak lebih dulu, membiarkan
Citra, Aura dan Siska mengikutiku dari belakang. Aku menggelindingkan
sebotol minum san seblok cokelat untuk Nindya.
Tuhan, lindungi Nindya, bagaimana pun caranya….
Itu adalah status facebook yang ingin kuutarakan saat itu.
Comments
Post a Comment