—-
Jambangan, adalah nama
tempat kami bertemu dengan puncak Mahameru untuk pertama kalinya. Aku
dan Citra gencatan senjata. Selama Citra tidak membahas masalah barusan,
aku pun diam saja. Berpura-pura kami adalah kelompok yang harmonis di
mata Nindya.
Perjalanan
dilanjutkan. Puncak sudah terasa semakin dekat. Kami berjalan
bersemangat. Melewati pasir di Jambangan, kemudian melewati akar-akar,
semak kemudian sampai di tempat bernama Kalimati. Nindya tetap berjalan
lebih dulu. Dia yang lebih dulu sampai di posko Kalimati, melewati
padang rumput yang bertanahkan pasir vulkanik panas. Pipiku terasa
panas.
Di sana kami duduk
beristirahat. Angin di Kalimati lebih kencang dari angin di Ranu
Kumbolo. Tempatnya terbuka, sepanjang mata memandang ada hamparan pasir.
Aku kembali menggunakan kaca mata hitamku. Kali ini kacamata ini tidak
kugunakan untuk mencuri pandang ke arah Nindya, tapi benar-benar untuk
membuat mataku tidak silau.
Di Kalimati, kami
berpapasan dengan beberapa kelompok lain yang hendak kembali ke Ranu
Kumbolo. Sebelumnya Nindya menanyakan sumber air karena cadangan minuman
kami habis. Setelah aku, Citra dan Siska memutuskan untuk pergi
mengambil air. Nindya dan yang lainnya membangun tenda. Kami bermalam di
Kalimati.
Nindya menyiapkan
makan malam. Aku dan Citra masih belum bicara sejak dari Cemoro Kandang.
Aku memilih diam. Aku juga tidak lagi mengeluarkan candaan. Perasaanku
terlanjur kesal pada Citra. Aku mulai mengutuki nama Citra. Hanya
sekedar nama yang bagus, tapi pemikirannya? Kerdil.
“Bener yah, sifat
seseorang itu keliatan ketika naik gunung.” Citra memulai memicu
sengketa lagi. Aku menatapnya sinis. Nindya sibuk membersihkan peralatan
makan. Teman-teman Nindya kemudian membahas gosip yang beredar di
kampus. Dari obrolan mereka, aku baru mengerti, sebenarnya teman-teman
Nindya ini adalah orang-orang yang seumur denganku tapi mereka belum
lulus.
Mereka membicarakan
Novi, si gadis malang yang menjadi pusat gosip mereka. Aku tidak
mengenal Novi, tapi aku tidak percaya pada omongan Citra yang bilang
bahwa Novi adalah seorang playgirl yang suka berganti pasangan dan mata
duitan. Maka dari itulah aku bilang Novi adalah gadis yang malang.
Namanya harus disebut oleh Citra, yang mulutnya tidak bisa dikontrol.
Hanya Nindya dan aku
yang diam. Tidak menanggapi obrolan keempat gadis itu. Aku tidak
menanggapi karena aku tidak mengenal Novi, mungkin begitu juga dengan
Nindya. Obrolan itu berlangsung sengit hingga akhirnya Nindya
mengingatkan agar tidak tidur terlalu larut karena jam 12 nanti kami
akan melakukan perjalanan ke puncak. Keempat teman Nindya sudah masuk ke
dalam tenda. Nindya kemudian menyusul. Aku masih duduk di luar tenda,
memandangi pemandangan gelap bertekstur abu-abu di mataku.
Aku bisa membedakan tanah dan langit, tapi semuanya
terlihat gelap. Tak lama kemudian, aku mendengar suara dengkuran, entah
suara siapa. Perjalanan dua hari ini memang perjalanan terberat dalam
hidupku. Rasanya ini lebih berat dari pada bekerja tanpa didampingi
Nindya di organisasi kampus. Juga lebih berat dari pertengahan bulan
uang bulananku sudah habis. Berat dan lelah. Belum lagi harus berurusan
dengan Citra.
“Rian, kamu mau tidur di luar?” Tanya Nindya dari dalam tenda. “Ayo masuk!”
Aku masuk ke dalam
tenda berukuran 2 x 2,5 meter. Tenda bergerak-gerak saat tubuhku masuk
ke dalamnya. Citra menggeliat kemudian menatapku tajam. Aku kemudian
mengambil tempat di sebelah Nindya. Sebenarnya di kaki Nindya. Karena
dalam tenda sempit itu, kami tidur dengan posisi kaki menghadap kepala
dan sebaliknya.
“Nind, kalo ada yang
ngga ke puncak, kamu mau tetep muncak?” Tanyaku. Berbisik pada kaki
Nindya. Tidak ada jawaban. Dengkuran terdengar lebih keras. Mengganggu,
tapi rasa letihku merajai. Aku tertidur malam itu. Di Kalimati,
menghadap kaki Nindya.
Comments
Post a Comment