Skip to main content

Mencari Damai bagian 8

—-
                Jambangan, adalah nama tempat kami bertemu dengan puncak Mahameru untuk pertama kalinya. Aku dan Citra gencatan senjata. Selama Citra tidak membahas masalah barusan, aku pun diam saja. Berpura-pura kami adalah kelompok yang harmonis di mata Nindya.
                Perjalanan dilanjutkan. Puncak sudah terasa semakin dekat. Kami berjalan bersemangat. Melewati pasir di Jambangan, kemudian melewati akar-akar, semak kemudian sampai di tempat bernama Kalimati. Nindya tetap berjalan lebih dulu. Dia yang lebih dulu sampai di posko Kalimati, melewati padang rumput yang bertanahkan pasir vulkanik panas. Pipiku terasa panas.
                Di sana kami duduk beristirahat. Angin di Kalimati lebih kencang dari angin di Ranu Kumbolo. Tempatnya terbuka, sepanjang mata memandang ada hamparan pasir. Aku kembali menggunakan kaca mata hitamku. Kali ini kacamata ini tidak kugunakan untuk mencuri pandang ke arah Nindya, tapi benar-benar untuk membuat mataku tidak silau.
                Di Kalimati, kami berpapasan dengan beberapa kelompok lain yang hendak kembali ke Ranu Kumbolo. Sebelumnya Nindya menanyakan sumber air karena cadangan minuman kami habis. Setelah aku, Citra dan Siska memutuskan untuk pergi mengambil air. Nindya dan yang lainnya membangun tenda. Kami bermalam di Kalimati.
                Nindya menyiapkan makan malam. Aku dan Citra masih belum bicara sejak dari Cemoro Kandang. Aku memilih diam. Aku juga tidak lagi mengeluarkan candaan. Perasaanku terlanjur kesal pada Citra. Aku mulai mengutuki nama Citra. Hanya sekedar nama yang bagus, tapi pemikirannya? Kerdil.
                “Bener yah, sifat seseorang itu keliatan ketika naik gunung.” Citra memulai memicu sengketa lagi. Aku menatapnya sinis. Nindya sibuk membersihkan peralatan makan. Teman-teman Nindya kemudian membahas gosip yang beredar di kampus. Dari obrolan mereka, aku baru mengerti, sebenarnya teman-teman Nindya ini adalah orang-orang yang seumur denganku tapi mereka belum lulus.
                Mereka membicarakan Novi, si gadis malang yang menjadi pusat gosip mereka. Aku tidak mengenal Novi, tapi aku tidak percaya pada omongan Citra yang bilang bahwa Novi adalah seorang playgirl yang suka berganti pasangan dan mata duitan. Maka dari itulah aku bilang Novi adalah gadis yang malang. Namanya harus disebut oleh Citra, yang mulutnya tidak bisa dikontrol.
                Hanya Nindya dan aku yang diam. Tidak menanggapi obrolan keempat gadis itu. Aku tidak menanggapi karena aku tidak mengenal Novi, mungkin begitu juga dengan Nindya. Obrolan itu berlangsung sengit hingga akhirnya Nindya mengingatkan agar tidak tidur terlalu larut karena jam 12 nanti kami akan melakukan perjalanan ke puncak. Keempat teman Nindya sudah masuk ke dalam tenda. Nindya kemudian menyusul. Aku masih duduk di luar tenda, memandangi pemandangan gelap bertekstur abu-abu di mataku.
Aku bisa membedakan tanah dan langit, tapi semuanya terlihat gelap. Tak lama kemudian, aku mendengar suara dengkuran, entah suara siapa. Perjalanan dua hari ini memang perjalanan terberat dalam hidupku. Rasanya ini lebih berat dari pada bekerja tanpa didampingi Nindya di organisasi kampus. Juga lebih berat dari pertengahan bulan uang bulananku sudah habis. Berat dan lelah. Belum lagi harus berurusan dengan Citra.
                “Rian, kamu mau tidur di luar?” Tanya Nindya dari dalam tenda. “Ayo masuk!”
                Aku masuk ke dalam tenda berukuran 2 x 2,5 meter. Tenda bergerak-gerak saat tubuhku masuk ke dalamnya. Citra menggeliat kemudian menatapku tajam. Aku kemudian mengambil tempat di sebelah Nindya. Sebenarnya di kaki Nindya. Karena dalam tenda sempit itu, kami tidur dengan posisi kaki menghadap kepala dan sebaliknya.
                “Nind, kalo ada yang ngga ke puncak, kamu mau tetep muncak?” Tanyaku. Berbisik pada kaki Nindya. Tidak ada jawaban. Dengkuran terdengar lebih keras. Mengganggu, tapi rasa letihku merajai. Aku tertidur malam itu. Di Kalimati, menghadap kaki Nindya.

Comments

Popular posts from this blog

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan