—-
Seseorang duduk
memperhatikan sesuatu. Mataku yang masih ingin menutup kupaksakan untuk
terbuka. Nindya duduk, menatapku sambil tersenyum. Aku terkejut, segera
kurapikan wajahku dengan menyapu wajahku dengan syal yang melingkar di
leherku.
“Ini waktu yang tepat,
Rian.” Kata Nindya. DEG. Jantungku hendak berhenti. Aku bangkit, duduk
menghadap Nindya. Cahaya kuning muncul menyinari wajah Nindya dengan
lembut. Nindya masih menatapku. Matanya sekarang menghadap ke sumber
cahaya kuning itu. “Selamat pagi, Ranu Kumbolo.”
Kemudian keajaiban itu
muncul. Cahaya kuning yang lembut itu kemudian menyinari mata Nindya
yang berwarna kecokelatan. Aku selalu suka matanya yang berwarna cokelat
itu. Senyumnya merekah. Nindya menunjuk danau di hadapannya.
Di atas permukaan air
Ranu Kumbolo, kabut bergerak dari dua bukit di timur, lumer menjadi fla
agar-agar putih yang menyelimuti seluruh permukaan danau, kemudian
berjalan mendekati aku dan Nindya. Mulutku menganga tak kusengaja. Rasa
dingin menusuk jari jemari tangan kananku yang kukeluarkan. Tapi cahaya
kuning itu, hangat. Akhirnya menerpa wajah dan tubuhku.
“Ajaib!” Bisikku.
Setelah itu, matahari merangsek naik persis seperti film teletubbies.
Semuanya hangat. Terang dan orang-orang mulai keluar dari tenda. Aku
kembali menatap wajah Nindya. “Tadi, waktu yang tepat untuk apa, Nind?”
“Waktu yang tepat
untuk ngeliat sesuatu yang kayak tadi.” Kata Nindya. Teman-temannya
bangun. Nindya kemudian keluar dari sleeping bag dan melipatnya.
Nindya seperti sedang
menjalankan ritual, dia mengucapkan selamat pagi pada Ranu Pane.
Kemudian selamat malam dan selamat pagi pada Ranu Kumbolo. Kedua tempat
itu seperti manusia yang perlu ‘disapa’ dan akan ‘menyapa’ balik.
Setelah sarapan pagi,
kami melipat tenda dan meneruskan perjalanan. Dan di hadapan kami, ada
tanjakan cinta. Tanjakan yang menurut mitosnya jika memikirkan seseorang
yang dicintai, maka orang itu akan menjadi jodohnya. Aku tidak terlalu
percaya mitos. Dan aku tetap berjalan di belakang.
Di tengah tanjakan,
Nindya membalikkan tubuhnya, kembali menghitung dan aku kembali
menggenapkan hatinya. Dia tersenyum puas sambil menatapku. Aku
memperhatikannya dibalik kaca mata hitamku. Tidak membalas senyumnya,
berpura-pura aku sedang memperhatikan hal yang lain dibalik kaca mata
hitam ini.
Nindya bersorak karena
dia gagal dalam tantangan mitos itu. Kemudian Nindya mengingatkan
teman-temannya yang lain agar jangan melihat ke belakang. Tapi justru
teman-temannya melihat ke belakang. Tinggal aku yang belum. Semoga
tidak.
Di puncak tanjakan
cinta. Aku baru tersadar, saking konsentrasinya untuk tidak menengok ke
belakang, aku justru lupa untuk memikirkan Nindya. Teman-teman Nindya
menggerutu karena tidak mampu menahan diri untuk tidak menengok ke
belakang. Dan mereka berjanji untuk naik ke tanjakan cinta lagi saat
pulang nanti.
Aku juga akan naik sekali lagi. Dan nanti, aku akan berangkat pagi-pagi agar tidak ada yang bisa membuyarkan konsentrasiku. Ya.
Aku membuka kaca mata
hitamku. Di depanku terhampar bunga lavender menyesaki sebuah lembah.
Bunganya sedang tidak berkembang, tapi aku masih bisa mengetahui bahwa
itu adalah bunga lavender. Padang lavender Oro-Oro Ombo.
Kali ini mengenali
tempatnya. Aku sudah mendengar bahwa di Semeru ada tempat dengan padang
lavender. Tapi aku tidak tahu bahwa tempatnya di sini, bersembunyi di
balik tanjakan cinta. “Perkenalkan, Oro-Oro Ombo.” Kataku menirukan
Nindya. Mereka semua tertawa. Kami tidak melewati padang itu. Kami
melewati pinggiran bukit dan menghindari padang lavender itu.
Bunga itu setinggi
tubuhku. Bagiku tidak lucu tersesat di dalam padang lavender. Ya kan?
Tapi aku akan berjalan di dalam padang itu pulangnya.
Cemoro Kandang, adalah
tempat peristirahatan kami selanjutnya. Kami duduk di atas sebuah
batang pohon kering yang melintang. Setiap kali aku menanyakan arah,
Nindya selalu menggeleng. Tidak ada yang tahu pasti kemana kami harus
pergi. Kami hanya mengikuti jejak sepatu orang lain. Dan aku tahu itu
setelah Nindya yang bilang.
Aku kelelahan berjalan
di Cemoro Kandang ini. Carrier terasa semakin berat menyiksa bertengger
di punggungku. Belum lagi tanganku yang memegangi tenda. Kakiku
melangkah sedikit sedikit karena langkah kaki teman-teman Nindya yang
sama-sama kelelahan hanya melangkah dua puluh sentian. Aku kesal. Tapi
aku diam. Memakai kacamata hitam membuatku terlihat bahwa aku baik-baik
saja, setidaknya begitulah menurutku.
Sudah tidak ada tawa.
Tawa menjadi barang yang mahal. Bukan hanya karena kami kelelahan, tapi
kami kehabisan pembicaraan juga. Aku tidak berani memulai pembicaraan
karena aku tidak mengenal teman-teman Nindya. Nindya sesekali bernyanyi
tapi kemudian lenyap saat terdengar suara helaan nafas panjangnya.
Tidak ada kesenangan
saat aku meniti langkah melewati Cemoro Kandang. Aura minta berhenti,
lagi. Ini entah sudah ke berapa puluh kalinya dia meminta berhenti.
Padahal dia sudah tidak membawa air di dalam carriernya, tapi dia masih
saja merasa keberatan.
“Makanya Ra, kopernya disimpen dulu kalo mau naik gunung.” Celetukku.
“Koper, maksudnya?” Tanya Aura dengan nafas tersengal tapi ingin tahu.
“Itu, koper di pipi,
di kedua tangan, di perut, di dua paha sama betis.” Nindya membantuku
menjawabnya. Tabu kan untuk seorang pria menyebut bahwa wanita bertubuh
gempal dengan timbunan lemak super banyak?
Aku tertawa terkekeh.
Itu baru hiburan! Nindya tertawa sedikit, yang lainnya tertawa kecil.
Aura hanya tersenyum kecut. Aku mengerti mengapa Aura enggan tertawa,
apa bagian bagus dari lelucon jika yang ditertawakan adalah dirimu
sendiri? Hanya orang cerdas yang mampu tertawa pada dirinya sendiri, itu
kata sebuah buku.
“Masih jauh nggak sih
nih?” Siska berkeluh. Citra melonggarkan syal ungunya. Rena melepas
carriernya dan tertidur di atas sebuah batang pohon, tak peduli bajunya
yang kotor.
“Sebentar yah, aku
liat dulu.” Kata Nindya. Nindya belum menurunkan carriernya. Dia
berjalan meniti tanjakan perlahan tapi pasti. Langkahnya tidak berhenti.
Kami masih beristirahat. Menunggu kabar baik dari Nindya.
“Gimana Nind?” Tanya
Citra. Rena kembali memikul carriernya. Aku bangkit bersiap untuk
kembali jalan. Siska mengeluarkan botol minumnya. Air tidak keluar.
Siska kemudian meminta air milik Citra kemudian meminumnya sampai puas.
Tak lama kemudian, air satu botol itu sudah berpindah tangan ke Aura dan
tersisa seperempatnya di tangan Aura.
“Minum itu untuk ngelegain tenggorokan aja. Jangan dihabisin. Kita nggak tau apa ada mata air engga disana.” Kataku.
“Berisik! Jangan bikin
gue nyesel pernah ikut ekspedisi bodoh ini deh. Emang nggak cape jalan
dari kemaren sampe sekarang?” Citra menghardikku. “Puncaknya aja nggak
tau dimana. Nggak tau kapan ini nyampenya. Nindya aja nggak tau kita ada
dimana sekarang. Kita itu ngikutin orang bodoh, tau nggak?”
“Kamu jangan ngomong
gitu sama Nindya!” Aku menyela sebelum Citra semakin menyudutkan
kesalahan perjalanan ini pada Nindya. Citra tidak tahu betapa Nindya
memimpikan perjalanan ini. Aku tidak akan membiarkan siapa pun
mengacaukan mimpi Nindya yang indah ini.
“Lah, emang bener kan? Kita itu tolol banget ngikutin Nindya!” Citra berteriak semakin keras.
“KAMU!”
“Hey, puncak keliatan
kawaaaannn!” Nindya berseru pada kami. Jaraknya mungkin sekitar 100
meter. “Ayo!” Suara Nindya terdengar bersemangat.
Debatku dan Citra
belum selesai. Tapi kami hentikan. Aku berharap berhenti selamanya. Aku
tidak mengerti manusia macam apa yang Nindya bawa. Bukankah seharusnya
perjalanan ini jadi menyenangkan? Mengapa gadis itu menyalahkan orang
lain untuk segala kelelahannya? Siapa yang tidak lelah? Nindya juga
pasti lelah. Wajahnya yang terus menerus pucat dari Ranu Pane itu pasti
menahan rasa lelah juga. Tapi tetap tersenyum demi menyemangati yang
lain!
Dan disanalah pertama
kalinya mataku berkenalan dengan sosok Mahameru. Menjulang ke angkasa.
Atapnya tanah jawa. Megah. Tidak perlu keraguan. Menantang awan dan
segala isinya.
Comments
Post a Comment