—-
“Nggak usah pake anjir
kayaknya bagus deh, Rian.” Protes Siska. Ya, ada Siska, Citra, Rena,
Aura, Nindya dan aku. Enam orang yang berusaha mencapai puncak itu.
“Puncaknya dimana Nind?” Tanyaku.
“Dimana yah? Aku juga
nggak tau. Aku baru pertama kesini, inget kan?” Jawab Nindya sambil
celingukan mencari puncak Mahameru. Nindya kemudian dipanggil oleh supir
jeep itu. Nindya mengeluarkan uang kemudian supir itu menjabat tangan
Nindya dan supir itu pergi. “Kita registrasi dulu yah. Sebentar.”
Hanya lima menit
Nindya berbicara dengan petugas di Ranu Pane itu, kemudian petugas itu
menunjuk sebuah jalan aspal menuju lahan warga. “Ikutin jalannya terus
belok ke kanan.”
Nindya memimpin doa
bersama kemudian kami memulai perjalanan. Nindya berada paling depan.
Berjalan dengan kikuk tapi semangat. Tangannya berulang kali membetulkan
letak carrier yang mungkin tidak nyaman di pundaknya. Kami sempat
berfoto di sebuah gapura yang bertuliskan selamat datang.
Kemudian kami berjalan
mengikuti jalan setapak kecil kemudian menanjak. Setelah itu, kami
dihimpit oleh semak, menyusuri jalan kecil yang menurutku entah akan
membawa kami kemana. Aku hanya tahu kami butuh terus berjalan.
Entah jam berapa, kami
sampai di Landengan Dowo. Kami tahu itu ada di Landengan Dowo karena
disana ada sebuah papan yang menunjukan bahwa kami berada di sana. Kami
beristirahat disana. Nindya mengeluhkan nafasnya yang sesak. Kami
istirahat lama.
Kemudian meneruskan
perjalanan hingga sampai di Watu Rejeng. Watu Rejeng adalah sebuah
tempat dibawah gunung batu yang terukir alami oleh cuaca. Ada batu
berbentuk dinosaurus, wajah manusia, kambing, ayam, tapi yang jelas
wajah Nindya menari-nari dalam pelupuk mataku.
Aku takjub dengan
segala hal yang ada di tempat ini. Salah satunya adalah keberadaan
paving block sepanjang jalan ini. Maksudku, orang yang menyimpannya
disini benar-benar sangat berniat! Di carrierku ini aku mendapat banyak
titipan barang dari gadis-gadis di hadapanku, aku merasa malas
membawanya tapi karena aku satu-satunya laki-laki disini, mau tidak mau
aku harus membawanya. Padahal, aku juga lelah. Punggungku tersiksa
membawa beban sebanyak ini.
Saat semangatku
semakin lama semakin pudar, Nindya membalikkan tubuhnya. Menanyakan
keadaan kami kemudian mulai menghitung. Kembali. “Enam!” kemudian dia
tersenyum ke arahku. Aku selalu bisa menggenapkan perasaan Nindya.
Semakin lama, kami
semakin banyak beristirahat. Matahari sudah tergelincir ke barat.
Suasana mulai menggelap. Kami masih berjalan. Suara
lenguhan, dengusan kesal dan lelah semakin sering terdengar. Ya, kami
semua mempertanyakan, kapan kami akan sampai? Angin berhembus semakin
kencang, seolah ada sesuatu yang mengejar kami dari belakang. Jika kami
tidak segera sampai di tempat tujuan, maka entah apa yang akan terjadi.
Bruk. Aku menabrak
carrier Citra yang berada di depanku. Dan kami semua saling menabrak
carrier di depan kami. Nindya berhenti mendadak. Nindya berdiri
mematung.
“Ada apa sih Nind? Kok
berhenti mendadak? Jangan istirahat dulu. Udah mau gelap nih.” Kataku.
Nindya tidak menjawab. Dia berjalan perlahan lagi kemudian berbalik.
Menahan senyumnya. Wajahnya pucat, bibirnya pias. Aku mulai khawatir.
“Kalian nggak akan percaya ini.” Katanya. Keningku berkerut. Percaya apa? Percaya bahwa dia akan pingsan sebentar lagi?
“Kenapa?” Tanya Siska.
“Selamat malam, Ranu
Kumbolo.” Kata Nindya. Menunjuk pada satu titik berwarna biru tua. Aku
memincingkan mataku. Mencoba memahami maksud Nindya dengan menunjuk
titik berwarna biru tua itu.
“Itu Ranu Kumbolo?”
Aura mulai bersuara. “Ayo kita cepet jalan biar cepet sampe!” Serunya
bersemangat. Padahal wajahnya sudah memerah kelelahan.
Itulah Ranu Kumbolo.
Sebuah danau yang diapit bukit-bukit. Sebuah zamrud yang dikelilingi
bukit emas. Indah. Hanya itu kata yang terlintas dalam benakku. Sejenak
aku lupa tentang Nindya. Ranu Kumbolo mencuri perhatianku. Tanpa
kusadari, aku berjalan semakin bersemangat.
Kukira itu dekat.
Kukira Ranu Kumbolo hanya perlu melangkahkah kaki beberapa kali lagi.
Ternyata, masih sekitar satu kilometer. Saat itulah Nindya mengambil
alih perhatianku lagi. Nindya berjalan bersemangat. Kami tiba tepat di
atas Ranu Kumbolo. Tanpa ba-bi-bu kami berlari menuju pinggir danaunya.
Lupa bahwa kami menuruni turunan terjal berpasir. Rena bahkan sempat
terjatuh dan bergulung-gulung di pasir. Tapi dia tertawa. Kami tertawa.
Rasa lelah hilang saat bertemu dengan Ranu Kumbolo.
Dan di Ranu Kumbolo,
saat Nindya menyentuh airnya, membasuh tangannya dan menatapku. Aku
semakin yakin, aku harus mengungkapkan perasaan ini pada Nindya. Nindya
harus tahu bahwa aku mencintainya.
Lamunanku buyar saat
Nindya mencipratkan air ke wajahku kemudian mengajakku membuat tenda.
Nindya dengans igap membangun tenda itu. Benar-benar seorang gadis
pecinta alam, eh penikmat alam!
Kami duduk di pinggir
danau, kali ini tidak sambil mencelupkan kaki karena sudah terlalu malam
dan udara semakin dingin. Kami hanya duduk di atas matras, memandangi
rumput keemasan yang semakin lama semakin sulit dilihat.
Kemudian Nindya
menyalakan sebuah lilin dan kami mulai memasak makanan untuk makan
malam. Rasa lelah itu hilang. Padahal aku belum beristirahat lama. Hanya
baru minum, selonjoran kaki dan menaruh carrier.
Satu persatu kami
masuk ke dalam tenda. Aku masih diam di luar, memandangi lilin dan
sesekali mencuri pandang ke arah Nindya. Nindya sekarang sudah
berbaring, menatap bintang berselimut sleeping bag.
“Rian, kamu tau nggak,
aku nggak pernah bermimpi senyata ini. Aku nggak mau besok pagi bangun
di kasur aku. Aku pengen di sini, di sisi Ranu Kumbolo.” Katanya.
Aku tidak menjawab.
Diam. Memperhatikan bintang yang bergerak-gerak iri memandangi kemesraan
antara aku dan Nindya. Meski pun terpisah jarak satu meter dan berada
di matras yang berbeda. Bagiku itu kemesraan juga.
“Selamat malam, Ranu
Kumbolo.” Nindya menutup matanya. Lilin mati tak lama kemudian.
Menyisakan bayang-bayang wajah Nindya yang tertidur tapi tidak mampu
kulihat dengan jelas.
Aku merebahkan tubuhku
di atas matras. Mendengarkan suara angin yang sekali lagi menyentuh
pohon-pohon, menimbulkan bunyi gemerisik yang damai. Dan rumput keemasan
itu tidak mau kalah, sama-sama saling bergemerisik. Padu menjadi sebuah
nyanyian nina bobo.
Aku tidak pernah sedamai ini dalam hidupku….
Itu adalah kata-kata yang ingin kutulis di dalam status facebook-ku malam itu.
Comments
Post a Comment