—-
Ini entah dimana, aku
hanya tahu barusan kami baru saja melewati sebuah air terjun dengan nama
Coban Pelangi. Jalanan lengang. Matahari semakin lama semakin meredup.
Perjalanan ini persis seperti Frodo yang berusaha ke Mordor.
Aku menikmati dua hal
dari perjalanan naik jeep ini. Pertama, aku menikmati udara sejuk,
warna-warna hijau dan kuning dari pepohonan, awan yang tebal berarak tak
beraturan di langit. Dan, coba tebak. Ya, Nindya. Nindya menikmati
lehernya yang diterpa angin kencang.
Tangannya di sana, bersentuhan dengan tanganku yang
sudah sedingin es. Aku bisa merasakan bahwa itu adalah tangannya karena
aku melirik sedikit. Aku ingin sekali bisa menggenggam tangan Nindya
lagi. Aku memakai kacamata hitamku. Aku sekarang mengerti mengapa
kacamata menjadi salah satu barang bawaan yang tidak boleh tertinggal.
Dan mungkin Nindya memberikanku peluang untuk mencuri pandang tanpa
harus ketahuan olehnya.
Aku berharap jeep ini
tidak pernah sampai di tempat bernama Ranu Pane. Aku berharap terus
seperti ini saja. Nindya melepaskan pegangan tangannya dari Jeep ini
kemudian diacungkannya tinggi-tinggi ke langit. Nindya berteriak, “keren
banget!”
Supir dan teman dari
supir jeep ini berbicara sesuatu yang tidak kumengerti. Nindya kemudian
membalas ucapan supir itu, “bukan Mas, gini-gini gadis hutan loh. Cuma
ini pertama kalinya ke Semeru.”
Mereka tertawa. Supir
dan temannya itu berbicara banyak pada Nindya. Aku diam. Pertama, tidak
mengerti dengan bahasa mereka. Kedua, bagiku mereka seperti
berkumur-kumur, aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan.
Jeep lagi-lagi
berhenti. Aku heran kenapa jeep ini sering berhenti tanpa diminta? Kali
ini berhenti di atas sebuah jurang yang bawahnya lembah dan sebuah bukit
berwarna kekuningan. Mulutku sudah kusiapkan untuk bertanya tempat
apakah ini.
“Bukit teletubbies.”
Sahut si supir. Supir itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Bukan
seperti laki-laki kebanyakan yang mulai montok ketika sampai usia itu,
pria ini bertubuh tegap. Aku yakin sejarah naik gunungnya sudah tidak
perlu diragukan lagi.
Aku menikmati yang dinamakan bukit teletubbies. Tapi tetap, harus ada Nindya-nya. Nindya seperti ceri di
atas kue blackforest, seperti stroberi di atas sebuah es krim sundae.
Tidak ada pun tidak apa-apa, semua normal. Hanya saja, apakah black
forest tetap bernama black forest tanpa potongan ceri di atasnya?
“Kayak lukisan yah….”
Kata Nindya. Kemudian supir jeep itu menawari kami untuk berfoto. Kami
pun diijinkan naik ke kap mobil jeepnya untuk berfoto. Kali ini sebelum
melanjutkan perjalanan, Nindya merapikan iketan rambutnya yang sedikit
melorot karena diterpa angin sepanjang perjalanan.
Aku belum pernah
melakukan perjalanan seperti ini. Diterpa angin sehebat itu. Di atas
jeep yang berperang dengan jalan yang membuat kikuk. Belum lagi ban yang
terkadang selip di antara pasir dan seolah siap terguling kapan saja.
Dan benar dugaanku,
bannya selip lagi. Kali ini di tempat yang tidak tepat. Mobil ini
mengambil terlalu ke kanan, jeep sudah miring hampir empat puluh lima
derajat. Tinggal menunggu waktu hingga Nindya yang persis ada di sebelah
kanan jeep terguling ke dalam jurang. Aku menahan nafas. Nindya dengan
wajah ngeri menatap ke bawah. Semuanya seolah dalam gerak lambat.
“INJAK GASNYA!”
Teriakku kencang. Supir itu, yang badannya sudah sama-sama miring empat
puluh lima derajat memutar ban jeepnya kemudian menginjak gas dengan
dalam. Tubuh Nindya hampir melompat keluar dari jeep. Aku menggapai
tangannya. Menarik tubuhnya untuk kembali ke dalam jeep. Tangan Nindya
yang lain sedang menarik tubuh Citra, si gadis bersyal ungu untuk juga
tetap berada di dalam jeep.
Kami semua akhirnya
terduduk di dalam jeep. Aku menggenggam erat tangan Nindya di dadaku.
Rasanya jantungku mau copot. Andai saja rongga dada dan perutku kosong,
maka jantungku itu sudah tergeletak tak berdaya di atas tumpukan usus
halusku. Mengenaskan jika perjalanan yang diharapkan mengasyikan ini
harus berakhir dengan meninggalnya enam orang calon pendaki di sebuah
jurang karena ban jeepnya selip.
“Engga apa-apa, Rian.”
Kata Nindya sambil mengelus tanganku dengan jemarinya yang kugenggam
erat. “Ga apa-apa Cit.” Citra mengelus rambut Citra. Lelehan air mata di
ujung mata Citra diseka dengan syal berwarna ungunya.
Supir dan teman si
supir itu malah tertawa keras. Mungkin senang karena bisa melihat
ekspresi panik dari kami. Kemudian si supir meminta maaf. Nindya yang
menjawab. Agak lama kami menghabiskan perjalanan sambil duduk. Kemudian
Nindya kembali berdiri dan wajahnya diterpa angin kembali.
Aku mengepalkan
tanganku. Berusaha mengingat sentuhan tangan Nindya yang mengusapnya
dengan lembut. Aku tidak mau mati sebelum bisa mengungkapkan perasaanku
pada Nindya.
Kami sampai di sebuah
desa terpencil. Bisa kubilang terisolasi. Bayangkan saja jika
penduduknya harus melewati jalan terjal barusan untuk ke kota. Apalagi
namanya kalau bukan terisolasi?
Kami turun dari jeep.
Mengambil satu persatu carrier dan memikulnya di pundak. Kemudian Nindya
berlari menuju sebuah wc umum. Dia memanggil kami untuk datang sambil
berteriak. Setelah kami mendekat, Nindya seperti seorang presenter
acara. Mempersembahkan, “selamat pagi, Ranu Pane!”
Mataku, yang jelas
hanya tertuju pada Nindya kemudian memperhatikan background yang Nindya
coba kenalkan pada mataku. Sebuah danau. Mirip dengan Situ Patengang,
hanya saja… Warna kuning yang berpendar di sekitar danau, bukit-bukit
yang tercopy sempurna di atas permukaan air. Kabut tipis yang mengambang
di atas permukaan danau itu. Maka kata-kata pertama yang keluar dari
mulutku adalah, “anjir, indah banget!”
Comments
Post a Comment