——
“Malang, stasiun baru!
Malang stasiun baru! Malang!” Suara salah seorang petugas kereta
menggelegar di telinga kami. Seolah pria itu tahu aku harus berhenti di
stasiun ini. Mata kiriku menangkap wajah Nindya yang tertidur sedikit
buram. Aku menempelkan mataku di kaca kereta ini untuk tidur. Saking
lelahnya, aku tidak merasa terganggu. Kereta sedang berhenti.
“Nind. Nind.” Kataku.
Mengguncang tangan Nindya. Nindya masih menutup matanya. Mulutnya
sedikit terbuka dan giginya nongol malu-malu dari celah bibirnya.
Darahku berdesir. Menatap Nindya seperti ini, ah, selalu manis.
“Nindya…” Aku sekarang memberanikan diri menggenggam tangan Nindya
sambil mengusap punggung tangannya dengan ibu jariku. Rena terbangun.
“Nind. Ini dimana yah? Kok keretanya berhenti?” Tanya Rena sambil mengucek matanya.
“MALANG STASIUN BARU!” Teriak petugas kereta. Kali ini dari ujung gerbong tapi tidak kalah keras dari sebelumnya.
“Hah? Malang? Kita
berhenti disini!” Nindya bangun. Berteriak panik. Melemparkan tanganku
yang masih memegangnya kemudian beringsutan mengambil carriernya, botol
minum, handphone dan makanan sisa di dekatnya.
Pluit kereta berbunyi
lagi. Aku dan Nindya masih berusaha meringsek keluar dari gerbong. Di
luar, teman-teman kami berteriak agar kereta tidak segera berjalan
kembali. Lucu, meneriaki lokomotif yang jaraknya ratusan meter bahkan
tidak terlihat dari gerbong kami karena kami berada di gerbong paling
belakang.
“Semuanya komplit?”
Tanyaku. Menggantikan posisi Nindya yang masih belum pulih kesadarannya.
Aku menanti-nanti, takut jika seseorang di antara kami kemudian
berteriak kehilangan barang berharganya. Tapi aku sudah kehilangan
barang berhargaku tadi, momen saat aku memegang tangan Nindya kemudian
Nindya melempar tanganku. Itu agak sakit.
Pagi. Kami sampai di stasiun baru Malang. Nindya
masih mengucek-ucek matanya. Seolah tidak percaya dia hampir saja
melewatkan stasiun ini beberapa menit lalu. Kereta yang membawa kami
kesini sudah berangkat lagi. Entah kemana.
Persis entah kemana
seperti aku saat ini. Aku tidak tahu ini dimana persisnya. Seperti yang
kubilang, hanya Nindya yang mempersiapkan segalanya. Tapi dia tidak
membawa peta atau sebagainya. Ya, perempuan memang tidak pernah cocok
dengan peta. Segala sesuatu yang perlu Ninyda ingat ada di dalam
kepalanya.
“Kemana udah ini,
Nind?” Tanya teman Nindya, bersyal ungu, namanya Citra. Kelopak matanya
terlipat tidak rapi. Pemiliknya masih ingin tidur tapi keadaan tidak
memungkinkan untuk tidur lebih lama.
Ini salah Rena, dari jam 12 malam, dia mengajak
kami semua bermain tebak lagu. Kami menguntai lagu dari kata terakhir
yang diucapkan. Baru jam 4 permainan itu usai saat aku sengaja membuat
diriku kalah. Aku lelah.
“Duduk dulu gimana,
guys? Otak aku agak susah ngeloadnya nih.” Sahut Nindya. Nindya kemudian
menjatuhkan dirinya di luar stasiun, di jalan. Carriernya berguncang
tapi Nindya cuek.
“Minum dulu Nind.”Kataku. Aku membuka carrier Nindya dan mengambil air dari dalamnya. Nindya minum beberapa teguk.
“Makan dulu enak nih
kayaknya. Ngopi-ngopi gitu.” Usul Nindya. “Sial banget, otak gue ga mau
diajak mikir.” Lanjutnya sambil menepuk-nepuk keningnya dengan telapak
tangan kanannya. Ya, Nindya benar-benar kesulitan diajak berpikir, kata
“gue” sudah keluar.
Kami berlabuh di salah
satu warung nasi dekat stasiun. Di sana Nindya memesan secangkir kopi
hitam dan makan beberapa bungkus roti. Setelah agak lama, Nindya
akhirnya menjelaskan lebih detil kemana tujuan kami selanjutnya. Dan
tujuan itu bernama, Tumpang.
Kami naik angkot dari
depan stasiun menuju Tumpang. Kemudian di Tumpang, kami langsung diserbu
oleh banyak calo jeep dan truk. Saat kami kebingungan untuk bicara
karena aksen dan bahasa yang tidak kami mengerti, Nindya masuk salah
satu mini market, kemudian keluar dengan sekaleng susu yang bertenger di
bibirnya.
Setelah secangkir
kopi, beberapa bungkus roti dan sekarang sekaleng susu. Konsentrasi dan
jiwa Nindya langsung kembali. Seolah jiwanya sudah puas berkelana dan
sekarang sudah kembali karena diberi sesajen kopi dan susu. Haha.
Ninyda berbicara pada
salah satu supir jeep yang menawarkan jasanya. Setelah cukup lama,
akhirnya kami disuruh naik ke sebuah jeep berwarna biru tua. Satu
persatu carrier kami dibawa naik kemudian diikat di atas atap jeep.
Kemudian kami naik.
Jeep melaju perlahan
kemudian berangsur cepat. Angin menyibakan rambut Nindya yang sebahu.
Ya, rambut Nindya panjangnya sebahu. Sedikit bergelombang di
ujung-ujungnya. Ikat rambut Nindya melingkar di pergelangan tangan
kirinya.
Aku memperhatikan
detil baju yang dipakai Nindya, Nindya ternyata menggunakan tank top.
Kemudian dibalut dengan kemeja dari bahan flannel. Lengannya digunung
sesiku. Di Ciremai, Nindya menemukan cintanya pada si kakak kelas. Itu
Ciremai. Ciremai dan Mahameru bukannya lebih tinggi Mahameru? Aku ingin
Nindya menyadari perasaanku padanya. Sungguh.
Jeep berhenti. Padahal
aku yakin ini belum sepuluh menit perjalanan. Nindya turun. Setelah
Nindya masuk ke dalam sebuah kantor, Rena melanjutkan permainan tebak
lagu. Karena aku yang kalah, maka permainan dimulai dariku. Aku
menyanyikan lagu cinta yang sering kunyanyikan ketika aku mengingat
Nindya. Permainan berlanjut lagi.
Setengah jam kami menunggu kemudian Nindya muncul
lagi. Dia naik ke atas jeep. Jeep melaju lagi, kali ini jalanan
menanjak. Nindya kemudian menatapku, sambil tersenyum, mengikat
rambutnya. “Petualangan baru aja dimulai, Rian.”
Comments
Post a Comment