Skip to main content

Mencari Damai bagian 4

——
                “Malang, stasiun baru! Malang stasiun baru! Malang!” Suara salah seorang petugas kereta menggelegar di telinga kami. Seolah pria itu tahu aku harus berhenti di stasiun ini. Mata kiriku menangkap wajah Nindya yang tertidur sedikit buram. Aku menempelkan mataku di kaca kereta ini untuk tidur. Saking lelahnya, aku tidak merasa terganggu. Kereta sedang berhenti.
                “Nind. Nind.” Kataku. Mengguncang tangan Nindya. Nindya masih menutup matanya. Mulutnya sedikit terbuka dan giginya nongol malu-malu dari celah bibirnya. Darahku berdesir. Menatap Nindya seperti ini, ah, selalu manis. “Nindya…” Aku sekarang memberanikan diri menggenggam tangan Nindya sambil mengusap punggung tangannya dengan ibu jariku. Rena terbangun.
                “Nind. Ini dimana yah? Kok keretanya berhenti?” Tanya Rena sambil mengucek matanya.
                “MALANG STASIUN BARU!” Teriak petugas kereta. Kali ini dari ujung gerbong tapi tidak kalah keras dari sebelumnya.
                “Hah? Malang? Kita berhenti disini!” Nindya bangun. Berteriak panik. Melemparkan tanganku yang masih memegangnya kemudian beringsutan mengambil carriernya, botol minum, handphone dan makanan sisa di dekatnya.
                Pluit kereta berbunyi lagi. Aku dan Nindya masih berusaha meringsek keluar dari gerbong. Di luar, teman-teman kami berteriak agar kereta tidak segera berjalan kembali. Lucu, meneriaki lokomotif yang jaraknya ratusan meter bahkan tidak terlihat dari gerbong kami karena kami berada di gerbong paling belakang.
                “Semuanya komplit?” Tanyaku. Menggantikan posisi Nindya yang masih belum pulih kesadarannya. Aku menanti-nanti, takut jika seseorang di antara kami kemudian berteriak kehilangan barang berharganya. Tapi aku sudah kehilangan barang berhargaku tadi, momen saat aku memegang tangan Nindya kemudian Nindya melempar tanganku. Itu agak sakit.
Pagi. Kami sampai di stasiun baru Malang. Nindya masih mengucek-ucek matanya. Seolah tidak percaya dia hampir saja melewatkan stasiun ini beberapa menit lalu. Kereta yang membawa kami kesini sudah berangkat lagi. Entah kemana.
                Persis entah kemana seperti aku saat ini. Aku tidak tahu ini dimana persisnya. Seperti yang kubilang, hanya Nindya yang mempersiapkan segalanya. Tapi dia tidak membawa peta atau sebagainya. Ya, perempuan memang tidak pernah cocok dengan peta. Segala sesuatu yang perlu Ninyda ingat ada di dalam kepalanya.
                “Kemana udah ini, Nind?” Tanya teman Nindya, bersyal ungu, namanya Citra. Kelopak matanya terlipat tidak rapi. Pemiliknya masih ingin tidur tapi keadaan tidak memungkinkan untuk tidur lebih lama.
Ini salah Rena, dari jam 12 malam, dia mengajak kami semua bermain tebak lagu. Kami menguntai lagu dari kata terakhir yang diucapkan. Baru jam 4 permainan itu usai saat aku sengaja membuat diriku kalah. Aku lelah.
                “Duduk dulu gimana, guys? Otak aku agak susah ngeloadnya nih.” Sahut Nindya. Nindya kemudian menjatuhkan dirinya di luar stasiun, di jalan. Carriernya berguncang tapi Nindya cuek.
                “Minum dulu Nind.”Kataku. Aku membuka carrier Nindya dan mengambil air dari dalamnya. Nindya minum beberapa teguk.
                “Makan dulu enak nih kayaknya. Ngopi-ngopi gitu.” Usul Nindya. “Sial banget, otak gue ga mau diajak mikir.” Lanjutnya sambil menepuk-nepuk keningnya dengan telapak tangan kanannya. Ya, Nindya benar-benar kesulitan diajak berpikir, kata “gue” sudah keluar.
                Kami berlabuh di salah satu warung nasi dekat stasiun. Di sana Nindya memesan secangkir kopi hitam dan makan beberapa bungkus roti. Setelah agak lama, Nindya akhirnya menjelaskan lebih detil kemana tujuan kami selanjutnya. Dan tujuan itu bernama, Tumpang.
                Kami naik angkot dari depan stasiun menuju Tumpang. Kemudian di Tumpang, kami langsung diserbu oleh banyak calo jeep dan truk. Saat kami kebingungan untuk bicara karena aksen dan bahasa yang tidak kami mengerti, Nindya masuk salah satu mini market, kemudian keluar dengan sekaleng susu yang bertenger di bibirnya.
                Setelah secangkir kopi, beberapa bungkus roti dan sekarang sekaleng susu. Konsentrasi dan jiwa Nindya langsung kembali. Seolah jiwanya sudah puas berkelana dan sekarang sudah kembali karena diberi sesajen kopi dan susu. Haha.
                Ninyda berbicara pada salah satu supir jeep yang menawarkan jasanya. Setelah cukup lama, akhirnya kami disuruh naik ke sebuah jeep berwarna biru tua. Satu persatu carrier kami dibawa naik kemudian diikat di atas atap jeep. Kemudian kami naik.
                Jeep melaju perlahan kemudian berangsur cepat. Angin menyibakan rambut Nindya yang sebahu. Ya, rambut Nindya panjangnya sebahu. Sedikit bergelombang di ujung-ujungnya. Ikat rambut Nindya melingkar di pergelangan tangan kirinya.
                Aku memperhatikan detil baju yang dipakai Nindya, Nindya ternyata menggunakan tank top. Kemudian dibalut dengan kemeja dari bahan flannel. Lengannya digunung sesiku. Di Ciremai, Nindya menemukan cintanya pada si kakak kelas. Itu Ciremai. Ciremai dan Mahameru bukannya lebih tinggi Mahameru? Aku ingin Nindya menyadari perasaanku padanya. Sungguh.
                Jeep berhenti. Padahal aku yakin ini belum sepuluh menit perjalanan. Nindya turun. Setelah Nindya masuk ke dalam sebuah kantor, Rena melanjutkan permainan tebak lagu. Karena aku yang kalah, maka permainan dimulai dariku. Aku menyanyikan lagu cinta yang sering kunyanyikan ketika aku mengingat Nindya. Permainan berlanjut lagi.
Setengah jam kami menunggu kemudian Nindya muncul lagi. Dia naik ke atas jeep. Jeep melaju lagi, kali ini jalanan menanjak. Nindya kemudian menatapku, sambil tersenyum, mengikat rambutnya. “Petualangan baru aja dimulai, Rian.”

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan