Skip to main content

Mencari Damai bagian 2

————
                Seminggu setelah obrolanku dengan Nindya. Aku sengaja membiarkan status obrolan di facebookku dalam keadaan nyala. Aku ingin Nindya segera menghubungiku kembali. Tapi tak ada tanda-tanda, setidaknya sampai detik ini. Aku bolak-balik membuka profil facebooknya. Setiap kali Nindya memperbarui statusnya, aku selalu berusaha ada untuk mengomentari statusnya itu. Tapi tak ada tanda-tanda bahwa dia akan menghubungiku kembali.
                Iseng aku membuka profil Nindya hingga ke bagian paling bawah, yang terbaru adalah di tahun ini. Karena jelas ini adalah akun facebooknya yang baru. Tidak ada kiriman-kiriman yang pernah kukirimkan padanya sebelum dia berpacaran dengan pacarnya yang sekarang. Hanya ada pemberitahuan dari dua tahun yang lalu bahwa Nindya mulai berpacaran dengan pria itu.
                Dua tahun lalu. Nindya memutuskan untuk masuk klub pecinta alam, meski pun Nindy a berkeras bahwa dia adalah seorang penikmat alam, bukan seorang pecinta. Saat itu ada seorang kakak kelasnya yang berusaha mendekati Nindya. Aku cemburu, kemudian tanpa persetujuan Nindya, aku memasukkan nama Nindya ke dalam daftar nama mahasiswa yang akan mengikuti bakti sosial selama satu minggu di sebuah desa yang kekurangan fasilitas pendidikan.
                Aku  pikir bahwa itu adalah cara terbaik agar Nindya jauh dari kakak kelasnya itu. Tapi aku salah, Nindya tidak menyukai kakak kelasnya yang itu. Dan Nindya juga marah karena aku secara sepihak mendaftarkan namanya ke dalam relawan bakti sosial. Nindya sudah merencanakan pendakiannya ke Ciremai. Entah kenapa waktu itu aku begitu marah saat Nindya bilang bahwa dia sudah merencanakan pendakian, aku mengusir Nindya dari kepanitiaan dan mencap Nindya sebagai orang yang tidak bertanggung jawab.
                Nindya lagi-lagi tidak marah. Dia hanya mengiyakan bahwa dirinya memang bukan orang yang bertanggung jawab dan dia keluar dari kepanitiaan. Aku pergi dengan bakti sosial dan Nindya ke Ciremai. Saat itu justru dia bertemu dengan pacarnya, jatuh cinta kemudian. Ah, tidak perlu lebih lanjut kuceritakan. Karena aku juga tidak begitu tahu cerita lanjutannya.
                Pria itu adalah pacar pertama Nindya. Dan bagian yang paling kubenci adalah ketika orang-orang menyebutkan bahwa pria itu adalah calon suami Nindya. Pernyataan itu membuat kesempatanku untuk mendapatkan Nindya seolah tertutup rapat. Aku benci.
                Nindya’s tagged you in a note. Adalah notifikasi terbaru yang kudapat dari Nindya. Apakah aku sudah bercerita bahwa Nindya suka membuat puisi? Ya, Nindya selalu membuat puisi. Bisa dilihat di facebooknya, tulisannya jauh lebih banyak dari statusnya. Puisi-puisi Nindya, biasanya paling ampuh membuatku geer. Itu juga yang membuatku tidak menyerah mendapatkan Nindya, karena aku yakin Nindya pun menyukaiku, tapi ada alasan mengapa dia tidak juga mengakuinya.
                Isi tulisan yang Nindya tandai padaku bukan tentang puisi. Dia menandaiku dalam sebuah catatan barang-barang yang perlu dibawa dan jadwal perjalanan kami. Tidak perlu ditanya, Nindya tanpa ditunjuk sudah berlaku layaknya pemimpin di dalam kelompok.
                “Udah ngajak berapa orang, Rian?”
                “Aku udah ajak, tapi enggak pada mau. Soalnya mereka sibuk katanya.” Jawabku bohong. Aku memang sengaja tidak mengajak siapa pun, aku sebenarnya ingin merasakan berdua dengan Nindya. “Pacar kamu ikut, Nind?”
                “Enggaklah. Dia kerja. Kejar setoran buat biaya nikah. Hehe.”
                Hehe adalah tawa khas Nindya. Di aslinya, Nindya akan terkekeh benar-benar dua kali, tersenyum dengan selalu memamerkan deretan giginya. Bahunya akan berguncang dua kali, mengikuti tawanya. Setelah itu dia akan menutup senyum dan deretan giginya lagi dan kembali dengan wajah serius. That’s my Nindya.
                “Memang kamu jadi nikah sama dia?” Tanyaku. Pertanyaan bodoh. Retoris sekali! Tentu saja jadi. Nindya tidak akan mungkin salah memilih pacarnya. Dua tahun berpacaran tidak mungkin dilalui hanya untuk main-main.
                “Minta doanya aja.”
                “Aku diundang enggak?”
                “Enggak ah.”
                Sudah pasti. Itu adalah jawaban paling jelas yang akan kudapat. Siapa aku? Berapa kali aku mengecewakan Nindya? Nindya mungkin tidak pernah membahas kesalahanku, tapi Nindya pasti mengingat setiap detil kesalahan yang kubuat padanya. “Kenapa Nind?”
                “Aku masih inget kata-kata kamu. Dulu kamu pernah bilang kamu bakal ngeracun tikus cowok yang nikah sama aku selain kamu. Aku jelas enggak akan ngundang kamu.”
                Sakit memang. Tapi apa kabar baiknya? Nindya mengingat sumpahku dengan jelas. Itu berarti bahwa Nindya sebenarnya menyimpan perasaan padaku. Mana mungkin dia susah-susah mengingat sumpahku tanpa alasan?
                “Rian, aku off dulu. Bye.”
                Lalu aku menunggu lagi Nindya memperbarui statusnya, membolak-balik profil facebooknya hingga aku hafal di tanggal berapa saja Nindya memperbarui facebooknya dan siapa saja yang paling sering berkirim komentar dengannya.
                Mungkin ini karma karena aku sudah mencampakkan pacarku di SMA begitu saja. Tapi aku juga tidak bisa membohongi perasaanku, aku bahkan sudah mengelak sekuat tenaga untuk tidak mencintai Nindya, apa daya?

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan