—-
Tidak ada perubahan. Masih friend request sent
dan aku masih juga belum bisa mengiriminya pesan agar dia segera
menyetujui permintaan pertemananku. Entah sudah berapa kali gadis itu
menghapus pertemanannya denganku. Dan entah sudah berapa kali juga aku
menambahkannya sebagai teman. Ini seperti ritual. Ketika gadis itu
merasa terganggu olehku, dia akan menghapus pertemanannya denganku, tapi
setelah beberapa… ya bisa kubilang bulan, maka dia akan menyetujuinya
lagi.
Kali ini, sudah hampir setahun sejak obrolan terakhirku di sosial media dengan gadis itu. Dia bahkan sudah membuat akun facebook
baru. Menurut kabar dari teman kami, gadis itu membuat akun baru karena
bosan dengan akun lamanya. Bisa jadi maksudnya adalah bosan mendapati friend request dariku. Yah, kurang lebih seperti itu.
Aku menutup akun facebookku dengan malas. Tapi kemudian, ada angka satu berwarna merah di simbol notifikasi. Aku keburu menutup jendela akun facebook. Aku segera membuka jendela baru dan membuka situs facebook. Nindya accepted your friend request, you’re now friends with Nindya, see Nindya’s profile.
Loncat, adalah hal
pertama yang kulakukan. Meski pun aku sedang duduk. Aku membanting
punggungku ke kursi sambil mengepalkan tanganku kemudian ber-yes yes yes
ria di depan komputer. Aku tidak peduli apa pun lagi. Aku harus
meluapkan rasa bahagiaku ini.
PLUK! Bunyi sebuah obrolan baru di facebookku. Aku mengamati obrolan yang baru muncul. Nama yang tidak kusangka, Nindya Permata Sari. Aku menggeser mouseku, tak ingin terlambat sedetik saja membalas pesan Nindya.
“Rian, bulan depan sibuk nggak?”
Inilah yang kusuka
dari gadis itu. Dia mudah melupakan masalah, dia tidak perlu
basa-basi-busuk, meminta maaf atau apa pun. Dia hanya perlu mengawali
sebuah percakapan. Bahkan dengan ‘halo’ sekali pun.
Dia adalah Nindya,
gadis yang aku sukai dari aku masuk ke jurusan Sastra Jepang. Seorang
gadis yang pendiam, tapi entah kenapa pendiam itu hanya sebuah kesan
yang segera ditinggalkan ketika Nindya sudah mengawali sebuah
percakapan. Dia akan bercerita tentang banyak hal, terlalu banyak untuk
seorang yang baru mengenalnya.
Dan aku jatuh cinta
padanya. Padahal aku sudah memiliki seorang pacar sejak aku masih SMA.
Tapi, si cupid memang bodoh. Aku melupakan kekasihku untuk mendekati
Nindya. Awalnya mulus, hingga kemudian pacarku itu melabrak Nindya.
Nindya tidak marah, dia hanya bilang bahwa aku telah menyia-nyiakan
pertemanan dengannya.
Ya, JLEB. Itu adalah
hal pertama yang aku rasakan. Aku lebih suka Nindya cemburu daripada
Nindya tidak merasakannya sama sekali. Itu adalah pertama kalinya Nindya
menghapus pertemanannya denganku di sosial media. Setelah 6 bulan,
Nindya menerima pertemananku lagi kemudian menghapusnya lagi karena aku
berulah.
Aku memang memaksakan
perasaanku pada Nindya. Aku tidak berharap bahwa aku tidak mencintai
Nindya. Aku justru bersyukur, hanya saja aku merasa sedih karena Nindya
sepertinya menganggapku hanya sebatas teman. Seperti ada sebuah dinding
terbuat dari kaca yang menghalangi perasaan Nindya untukku.
“Engga, kenapa Nind? Oh ya, makasih yah udah dikonfirmasi pertemanan aku. Gimana kabar, baik?”
ENTER. Aku mengirim
pesan balasan super panjang. Aku tidak sabar menanyakan kabarnya. Sudah 4
tahun aku mengenal Nindya. Minggu kemarin kami baru saja wisuda. Dari
kerumunan mahasiswa dan mahasiswi, aku bisa melihat Nindya dengan baju
toganya yang kebesaran. Aku mencoba menghampirinya, sekedar meminta foto
berdua dengannya sebagai kenang-kenangan. Tapi aku kehilangan Nindya.
Ah, sebenarnya bukan kehilangan Nindya, aku memang tidak pernah
mendapatkan Nindya sejak awal. Nindya digandeng pacarnya.
“Aku mau naik gunung, Rian. Kamu mau ikut enggak?”
“Tanggal berapa tepatnya, Nind?”
“Mungkin pertengahan, sekitar tanggal 15. Bisa?”
“Bisa. Berangkatnya sama siapa aja, Nind?”
“Aku baru ngajak kamu
aja sih. Tapi nanti aku ajak yang lain juga. Kamu boleh kok kalo mau
ngajak temen kamu. Lebih banyak lebih asik.”
Itu adalah pesan
Nindya yang sesungguhnya. Tapi mataku berhenti dua kata, sebelum sih dan
sebelum titik. KAMU AJA. Stop. Itu benar-benar membahagiakanku.
“Rian, kamu enggak mau nanya kita mau ke gunung mana?”
“Oh iya, lupa.” Jawabku. Padahal aku memang tidak peduli. Kemana pun, asal bisa bersama Nindya. “Kemana, Nind?”
“Mahameru, Rian.”
DEG. Jantungku seolah
berhenti berdetak. Nindya serius dengan ucapannya beberapa tahun lalu.
Dia selalu bercerita tentang sebuah gunung di dalam novel 5 sentimeter.
Meski pun Nindya tidak begitu percaya dengan 5 sentimeter itu, Nindya
ingin sekali pergi ke Mahameru. Sejak Nindya mengucapkan keinginannya
itu, Nindya rajin naik gunung. Hal itu yang kubenci dari Nindya, karena
dia bertemu dengan pacarnya ketika dia naik gunung.
“Gimana, Rian?”
“Berapa hari, Nind?”
“Aku kalkulasiin waktu, kita sekitar 6 hari, itu udah plus perjalanan kita kesana. Gimana Rian?”
“Aku ikut Nind. Aku enggak akan pernah ngecewain kamu lagi Nind. Aku engga akan ingkar janji sama kamu.”
“Thanks Rian. Nanti aku hubungi lagi ya.”
“Iya, aku tunggu Nind.”
“Sip. Aku off dulu ya.”
“Mau kemana Nind? Sibuk yah sekarang?”
“Ya lumayan. Oh ya, kabar aku baik Rian.”
“Aku jug…”
Nindya’s offline now.
Aku belum sempat mengetik pesan balasan tapi Nindya sudah buru-buru
menyelesaikan obrolannya denganku. Aku masih ingin berbicara dengan
Nindya. Aku ingin mendengar cerita-ceritanya lagi. Aku benci memikirkan
bahwa pacar Nindyalah yang menjadi tempat curhat Nindya.
Terimakasih, Tuhan, atas segalanya….
Adalah status facebookku yang sengaja kubuat untuk mensyukuri kebahagiaanku kembali menjalin sebuah hubungan percakapan dengan Nindya.
Comments
Post a Comment