—————
Nindya memintaku
datang ke kampus untuk membicarakan tentang pendakian yang akan dimulai
beberapa hari lagi. Nindya berhasil mengajak setidaknya 5 orang dalam
perjalanan itu. Keseluruhannya adalah perempuan. Tapi Nindya bisa jadi
dihitung sebagai laki-laki, karena dia tentunya sudah sering naik turun
gunung, bukan?
Dan disanalah Nindya
duduk. Kami membentuk lingkaran agar mudah memusatkan obrolan. Kami
terpisah 3 orang baik di bagian kanan dan kirinya. Kami bersebrangan.
Aku diam memperhatikan apa yang dibicarakan olehnya. Nindya beberapa
kali mengulang bawaan yang menurutnya tidak boleh tertinggal.
Nindya bilang, “ini
gunung 3676 meter di atas permukaan laut. Jangan macem-macem!” Nindya
pantas mengucapkan hal itu, 4 orang yang berhasil diajak Nindya itu
belum pernah naik gunung, mana pun, seumur hidupnya. Dan seperti kataku
sebelumnya, tanpa diminta, Nindya sudah menjadi ketua kelompok. Tidak
ada yang protes, karena jelas hanya Nindya yang memperhitungkan
segalanya.
Di hari keberangkatan,
di stasiun Bandung, aku menunggu kedatangan Nindya. Aku terus menerus
mengirimi Ninyda pesan singkat. Aku tidak mau perjalanan ini berakhir
hanya karena kami ketinggalan kereta.
Tak lama kemudian,
Nindya muncul dengan tas carrier super besarnya. Tak kalah dengan tas
teman-temannya yang lain. Hanya saja, aku heran, Nindya kewalahan?
Bukannya dia sering naik gunung?
Nindya memegang tiket
dan KTP kami. Dia terus menerus menghitung agar kami tetap dalam formasi
bertujuh. Dan hitungannya selalu berakhir padaku. Aku berdiri paling
belakang. Sebenarnya ingin di depan bersama Nindya, tapi aku tetap
dihitung sebagai laki-laki. Selalu ladies first.
Aku paling suka bagian
ketika Nindya berbalik ke belakang, menghitung jumlah kami kemudian
saat bertatapan mata denganku, dia mengangkat alisnya kemudian tersenyum
puas. Enam, katanya. Aku selalu membuatnya tersenyum meski pun hanya satu kilatan saja.
Perjalanan pertamaku.
Nindya duduk di depanku, di bangku yang bersebrangan. Dia
mengulang-ulang ucapannya, “aku engga mimpi. Aku bener-bener pergi ke
Mahameru!” dan aku juga tidak bermimpi menemani mimpimu untuk pergi
kesana.
Di kereta, Nindya
tidak sekali pun membahas pacarnya. Telinganya, seperti biasa, disumpal
dengan lagu-lagu. Awalnya kudengar lagu keras, kemudian lagu yang
membuat keningku berkerut sambil memperhatikan Nindya yang sedang
menatap keluar. Lagu galau. Air mata berkumpul di depan matanya kemudian
Nindya menutup matanya. Tertidur.
Aku mengeluarkan handphone-ku, memutuskan untuk membuka facebook sebelum handphone-ku kehabisan batre dan mati. Setelah masuk ke dalam situs itu, aku dengan cepat mengetik, perjalanan hati baru saja dimulai….
Aku tertidur.
Benar-benar tertidur. Dengan handphone yang masih kupegang. Kulirik
teman-teman Nindya yang lain, mereka semua tidur. Tapi di hadapanku,
Nindya, dia menghilang. Hanya ada Rena, teman sebangku Nindya yang
tertidur di meringkuk di atas kursi kereta yang sempit. Aku bangun
sedikit, mencari dimana Nindya. Nindya berada di gerbong belakang,
berdiri memperhatikan pemandangan yang berganti begitu cepat.
Aku menghampiri
Nindya. Jika ini adalah kesempatannya, maka aku tidak akan pernah
melewatkannya. Nindya masih memandang keluar kereta saat aku
menghampirinya. “Sedang apa, Nind?”
“Inget adegan Zafran
sama Dinda di kereta nggak?” Tanya Nindya, tersenyum manis sekali.
Pertanyaan itu seolah bukan untuk menanyakan adegan, tapi untuk
mengajak.
“Kalo gitu, ayo.”
Sahutku. Pintu perlintasan gerbong yang kebetulan sedang terbuka itu
menjadi kesempatanku untuk mengungkapkan perasaanku pada Nindya. Aku
sudah bersandar di pintu, mengulurkan tanganku pada Nindya.
“Jangan Rian, bahaya.
Lagipula, kamu nggak baca tulisan di atasnya? Dilarang mengeluarkan
anggota badan.” Kata Nindya. Belum aku mencerna kata-kata Nindya, salah
satu petugas kereta langsung menegurku. Berbeda dengan cara Nindya
menegur, teguran petugas itu kasar dan tidak menyenangkan. Aku langsung
kembali ke posisi awalku, kemudian pintu ditutup oleh petugas itu.
Suasana begitu hening.
Maksudku, tidak ada obrolan lagi antara aku dan Nindya. Nindya kembali
asyik memandang keluar dan aku sibuk memperhatikan kerjapan mata Nindya.
Terasa hening meski pun tukang kopi dan mie berteriak bersahutan
bersama tukang oleh-oleh dan pecel. Belum lagi suara besi-besi rel yang
terlindas harga dirinya saat kereta lewat di atasnya. Di luar tubuhku
tidak hening, di dalam tubuhku ini hening.
“Masih lama ini nyampe
Malangnya, Nind?” Tanyaku. Memecah konsentrasi Nindya. Nindya tersenyum
lagi, mengangguk. Memandangi jam tangannya. Tidak mengeluarkan satu
kata pun. “Jam berapa nyampenya ini, Nind?” Aku bertanya lagi.
Aku ingin mencairkan suasana, Nindya! Tolong,
bersedialah untuk mengobrol denganku. Aku ingin obrolan kita hangat
seperti dulu. Saat kau tertawa, kau pasti menarik lengan bajuku hingga
aku merasa kau hampir merobeknya. Aku rindu kejahilanmu yang selalu
mengelapkan tangan basahmu ke jaketku. Aku rindu.
“Jadi gini Rian. Seharusnya kamu baca tulisan yang aku tag di facebook.
Disana sebenernya udah aku jelasin sejelas-jelasnya. Kita nyampe besok
pagi di Malang. Kamu tidur aja. Perjalanan masih panjang.”
“Kamu, ngapain diem disini?”
“Nyari udara segar aja. Sama nyari inspirasi buat puisi.”
“Memangnya kamu mau bikin puisi lagi?”
“Rencananya sih.
Hehe.” Jawab Nindya. Masih ‘hehe’ yang sama. Tawa khas Nindya. Terdengar
hehe, tubuh berguncang dua kali, deretan gigi kemudian ekspresinya
kembali datar. Benar-benar hehe-nya Nindya yang aku kenal. Bedanya
sekarang dia tidak menarik lengan bajuku. “Aku ke kursi dulu yah.”
Nindya pamit. Aku tertegun memandangi Nindya yang pergi meninggalkanku.
“Nindya, kali ini,
kamu mau tarik lengan baju aku sampe robek pun aku rela.” Kataku.
Berbisik. Nindya sudah sampai di kursinya. Bayangnya menghilang tertutup
kursi. Aku masih tetap mematung. Perasaan Nindya memang sengaja ditahan
saat bertemu denganku. Aku tahu dia pasti ingin sekali tertawa lepas
sambil menarik-narik bajuku. Ya, pasti.
Comments
Post a Comment