Skip to main content

Mencari Damai bag 3

—————
                Nindya memintaku datang ke kampus untuk membicarakan tentang pendakian yang akan dimulai beberapa hari lagi. Nindya berhasil mengajak setidaknya 5 orang dalam perjalanan itu. Keseluruhannya adalah perempuan. Tapi Nindya bisa jadi dihitung sebagai laki-laki, karena dia tentunya sudah sering naik turun gunung, bukan?
                Dan disanalah Nindya duduk. Kami membentuk lingkaran agar mudah memusatkan obrolan. Kami terpisah 3 orang baik di bagian kanan dan kirinya. Kami bersebrangan. Aku diam memperhatikan apa yang dibicarakan olehnya. Nindya beberapa kali mengulang bawaan yang menurutnya tidak boleh tertinggal.
                Nindya bilang, “ini gunung 3676 meter di atas permukaan laut. Jangan macem-macem!” Nindya pantas mengucapkan hal itu, 4 orang yang berhasil diajak Nindya itu belum pernah naik gunung, mana pun, seumur hidupnya. Dan seperti kataku sebelumnya, tanpa diminta, Nindya sudah menjadi ketua kelompok. Tidak ada yang protes, karena jelas hanya Nindya yang memperhitungkan segalanya.
                Di hari keberangkatan, di stasiun Bandung, aku menunggu kedatangan Nindya. Aku terus menerus mengirimi Ninyda pesan singkat. Aku tidak mau perjalanan ini berakhir hanya karena kami ketinggalan kereta.
                Tak lama kemudian, Nindya muncul dengan tas carrier super besarnya. Tak kalah dengan tas teman-temannya yang lain. Hanya saja, aku heran, Nindya kewalahan? Bukannya dia sering naik gunung?
                Nindya memegang tiket dan KTP kami. Dia terus menerus menghitung agar kami tetap dalam formasi bertujuh. Dan hitungannya selalu berakhir padaku. Aku berdiri paling belakang. Sebenarnya ingin di depan bersama Nindya, tapi aku tetap dihitung sebagai laki-laki. Selalu ladies first.
                Aku paling suka bagian ketika Nindya berbalik ke belakang, menghitung jumlah kami kemudian saat bertatapan mata denganku, dia mengangkat alisnya kemudian tersenyum puas.  Enam, katanya. Aku selalu membuatnya tersenyum meski pun hanya satu kilatan saja.
                Perjalanan pertamaku. Nindya duduk di depanku, di bangku yang bersebrangan. Dia mengulang-ulang ucapannya, “aku engga mimpi. Aku bener-bener pergi ke Mahameru!” dan aku juga tidak bermimpi menemani mimpimu untuk pergi kesana.
                Di kereta, Nindya tidak sekali pun membahas pacarnya. Telinganya, seperti biasa, disumpal dengan lagu-lagu. Awalnya kudengar lagu keras, kemudian lagu yang membuat keningku berkerut sambil memperhatikan Nindya yang sedang menatap keluar. Lagu galau. Air mata berkumpul di depan matanya kemudian Nindya menutup matanya. Tertidur.
                Aku mengeluarkan handphone-ku, memutuskan untuk membuka facebook sebelum handphone-ku kehabisan batre dan mati. Setelah masuk ke dalam situs itu, aku dengan cepat mengetik, perjalanan hati baru saja dimulai….
                Aku tertidur. Benar-benar tertidur. Dengan handphone yang masih kupegang. Kulirik teman-teman Nindya yang lain, mereka semua tidur. Tapi di hadapanku, Nindya, dia menghilang. Hanya ada Rena, teman sebangku Nindya yang tertidur di meringkuk di atas kursi kereta yang sempit. Aku bangun sedikit, mencari dimana Nindya. Nindya berada di gerbong belakang, berdiri memperhatikan pemandangan yang berganti begitu cepat.
                Aku menghampiri Nindya. Jika ini adalah kesempatannya, maka aku tidak akan pernah melewatkannya. Nindya masih memandang keluar kereta saat aku menghampirinya. “Sedang apa, Nind?”
                “Inget adegan Zafran sama Dinda di kereta nggak?” Tanya Nindya, tersenyum manis sekali. Pertanyaan itu seolah bukan untuk menanyakan adegan, tapi untuk mengajak.
                “Kalo gitu, ayo.” Sahutku. Pintu perlintasan gerbong yang kebetulan sedang terbuka itu menjadi kesempatanku untuk mengungkapkan perasaanku pada Nindya. Aku sudah bersandar di pintu, mengulurkan tanganku pada Nindya.
                “Jangan Rian, bahaya. Lagipula, kamu nggak baca tulisan di atasnya? Dilarang mengeluarkan anggota badan.” Kata Nindya. Belum aku mencerna kata-kata Nindya, salah satu petugas kereta langsung menegurku. Berbeda dengan cara Nindya menegur, teguran petugas itu kasar dan tidak menyenangkan. Aku langsung kembali ke posisi awalku, kemudian pintu ditutup oleh petugas itu.
                Suasana begitu hening. Maksudku, tidak ada obrolan lagi antara aku dan Nindya. Nindya kembali asyik memandang keluar dan aku sibuk memperhatikan kerjapan mata Nindya. Terasa hening meski pun tukang kopi dan mie berteriak bersahutan bersama tukang oleh-oleh dan pecel. Belum lagi suara besi-besi rel yang terlindas harga dirinya saat kereta lewat di atasnya. Di luar tubuhku tidak hening, di dalam tubuhku ini hening.
                “Masih lama ini nyampe Malangnya, Nind?” Tanyaku. Memecah konsentrasi Nindya. Nindya tersenyum lagi, mengangguk. Memandangi jam tangannya. Tidak mengeluarkan satu kata pun. “Jam berapa nyampenya ini, Nind?” Aku bertanya lagi.
Aku ingin mencairkan suasana, Nindya! Tolong, bersedialah untuk mengobrol denganku. Aku ingin obrolan kita hangat seperti dulu. Saat kau tertawa, kau pasti menarik lengan bajuku hingga aku merasa kau hampir merobeknya. Aku rindu kejahilanmu yang selalu mengelapkan tangan basahmu ke jaketku. Aku rindu.
                “Jadi gini Rian. Seharusnya kamu baca tulisan yang aku tag di facebook. Disana sebenernya udah aku jelasin sejelas-jelasnya. Kita nyampe besok pagi di Malang. Kamu tidur aja. Perjalanan masih panjang.”
                “Kamu, ngapain diem disini?”
                “Nyari udara segar aja. Sama nyari inspirasi buat puisi.”
                “Memangnya kamu mau bikin puisi lagi?”
                “Rencananya sih. Hehe.” Jawab Nindya. Masih ‘hehe’ yang sama. Tawa khas Nindya. Terdengar hehe, tubuh berguncang dua kali, deretan gigi kemudian ekspresinya kembali datar. Benar-benar hehe-nya Nindya yang aku kenal. Bedanya sekarang dia tidak menarik lengan bajuku. “Aku ke kursi dulu yah.” Nindya pamit. Aku tertegun memandangi Nindya yang pergi meninggalkanku.
                “Nindya, kali ini, kamu mau tarik lengan baju aku sampe robek pun aku rela.” Kataku. Berbisik. Nindya sudah sampai di kursinya. Bayangnya menghilang tertutup kursi. Aku masih tetap mematung. Perasaan Nindya memang sengaja ditahan saat bertemu denganku. Aku tahu dia pasti ingin sekali tertawa lepas sambil menarik-narik bajuku. Ya, pasti.

Comments

Popular posts from this blog

aturan-aturan

Kita tertawa kemarin. Kau ceritakan kisahmu, aku mendengarkan. Itulah aturan utamanya . Dan aku mengikutinya dengan baik sejauh ini. Selama ini.  Aku takkan melihat kemana-mana lagi dan hanya menatap satu titik. Matamu. Itu adalah aturan kedua . Aku akan banyak diam. Mengikuti alur ejekan dengan senyum dan berharap malam segera merayap datang. Aku diharuskan berhati pelawak. Tak boleh memasukan satu kata jahilpun dalam hatiku agar tak terluka. Itu aturan yang ketiga . Dari semua aturan yang tersedia. Selama ini aku melakukannya dengan baik. Aku melewati alurnya dengan sabar. Aku tak pernah mengeluh. Aku lebih banyak tertawa dan selalu kuucapkan terimakasih untuk tawa hari ini . Lalu apa salahku? Kenapa tiba-tiba kalian membuatku merasa seperti orang jahat ? Apakah aku melewatkan salah satu aturan itu? Apakah aku melanggar aturan yang tersirat itu? Aku dibuat untuk merasa bersalah tanpa alasan yang jelas! Aku dibuat bingung dengan sikap yang mendadak dingin dan senyum kecut. Anggap s

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.