Aku memang tak tahu apa-apa tentang kehilangan, apalagi kehilangan sosok Ayah. Aku bersyukur pada Tuhan bahwa aku masih memiliki Ayah, Ibu dan keluarga yang lengkap, meski pun aku tak pernah mengenal sosok kakekku.
Kawan, entah pantas atau tidak aku bicara. Kata 'sabar' adalah kata yang paling mudah menguap. Diammu pun adalah sabar. Tangismu pun adalah sabar. Perih yang hanya kau simpan dalam dada pun adalah sabar. Entah kata apa yang pas untuk mengobati kehilanganmu.
Kita memang tak pernah bicara banyak tentang perasaan. Tapi aku tahu rasa kehilangannya seperti apa. Membayangkannya saja pun mataku sudah begitu berat menahan air mata. Tapi kau begitu tegar untuk menahan gemetar bibirmu menahan isak sambil menyaksikan tubuhnya perlahan masuk ke tempat peristirahatan terakhir. Kata 'selamat tinggal' dan 'maaf' aku yakin ingin berhamburan dari bibirmu yang gemetar.
Aku menyaksikanmu menunggui Ayahmu berhari-hari. Kau tahu waktu untuknya hanya tinggal sebentar lagi. Rasanya seperti menunggu pengumuman kelulusan. Bukan hanya jantung yang cemas menunggu, tapi harapan pun menunggu untuk dikandaskan.
Saat dia menghela nafas tidalnya. Kau hanya diam. Tahu bahwa waktunya telah tiba. Semua orang berhambur untuk memeluk tubuhnya. Tapi kau diam. Tak bersuara. Seolah ada jeda yang menahan waktu untukmu mengucapkan selamat tinggal. Namun tak jua kau ucapkan. Ketika waktunya tiba, kau tak ingin berpisah.
Waktunya sudah lewat. Barulah kau merasa kau telah melewatkan satu detik yang penting dalam hidupmu. Kau hanya bersujud lemas. Memegangi tangannya yang terjuntai ke bawah. Kau menunggu tangannya yang besar dan kasar itu mengusap tanganmu dengan lembut perlahan. Tapi kau yakin, itu takkan pernah terjadi.
Sore itu, adzan berkumandang. Bukan penanda shalat. Adzan itu mengantar kepergian sang imam ke peristirahatan terakhirnya. Perlahan, tubuh yang biasa memelukmu ketika kau bersedih itu hilang dari pandanganmu. Kau tidak ingin mengedipkan matamu, takut kehilangan momen terakhir, meski pun hanya satu detik.
Bunga-bunga mulai disebar. Rasa perih di hatimu lebih dari sekedar ditinggal kekasih sejati. Lebih dari sekedar ditolak oleh pria pujaan. Atau pun dikhianati oleh sahabat. Perih yang menusuk hingga tulang sum-sum meski pun mungkin kau tak tahu di mana tulang sum-summu berada.
Kau memegang sepotong kayu yang tertancap di tanah merah yang basah itu seolah memeluk sosok Ayah yang kini berada di bawah kakimu. Air mata terjatuh lagi dari pipimu. Kau berharap tak ada yang meninggalkan tempat itu selama mungkin.
Di rumahmu, kau masih bisa mencium aroma tubuhnya di udara. Seolah dia berjalan-jalan di rumah seharian, menunggumu pulang. Kau pun mulai berharap dia akan muncul di balik pintu kamar sambil tersenyum dan mengucapkan, "selamat datang, anak kesayanganku!"
"Selamat jalan, Pa..." katamu berbisik. Mencoba menutup luka menganga di hatimu dengan memaafkan. Pada akhirnya, kau pun belajar bahwa merelakan adalah satu-satunya jalan untuk menyembuhkan luka.
Untuk Neng.
Turut berduka cita.
010612
Comments
Post a Comment