Skip to main content

Backpacker with Bebek


Aku mengenal Bebek pertama kali bukan sebagai sosok yang menyenangkan. Aku heran pada dia yang suka tersesat dan menghilang mendadak. Dia bisa membuat semua orang peduli dan khawatir padanya. Lalu si Bebek dengan entengnya bilang, "Apa da aku mah sama temen aku".

Aku mengenalnya pertama kali sebagai produser di film pertamaku, The Simplicity of Love. Di tengah-tengah jalan, dia justru mengundurkan diri. Aku mencap Bebek sebagai sosok yang mudah hilang.


Aku masih belum mengenalnya meskipun sudah hampir setengah tahun bersama dengannya dalam wadah sebuah komunitas. Barulah aku mengenalnya saat aku dan dia dipasangkan sebagai koordinator kelas kajian. Awalnya aku ragu apakah aku bisa "menemukan" si Bebek ketika dia hilang?

Aku rasa, kelas kajianlah yang mendekatkan aku dengannya. Hingga kemudian di sebuah sore di bulan Juli. Kami berbincang tentang rencana backpacker. Bebek dan aku begitu antusias ingin pergi backpacker. Sayangnya orang-orang yang mengenalkanku pada istilah backpacker itu hanya bisa merencanakan, masih Tuhan-lah penentu keterlaksanaan dari sesuatu.

Akhirnya, aku mengajak si Bebek pergi ke Kuningan. Dan sungguh tak disangka dia mau. Aku merasa baru kali itu, sejak aku mengenal si Bebek, aku merasa sangat mengenalnya. Kami pergi ke gunung Ciremai bersama kemudian berencana pergi ke Jogja bersama. Saat itu pun aku dan Bebek berkenalan dengan orang yang masih hanya bisa merencanakan, akhirnya aku pergi dengan si Bebek untuk mewujudkan apa yang kami cita-citakan.

Berangkatlah aku dan si Bebek dari stasiun Kiara Condong. Kemudian sampai di stasiun Lempuyangan jam 7 pagi. Kemudian kami berjalan hingga Malioboro, sarapan di angkringan kemudian naik trans Jogja hingga terminal Jombor kemudian lanjut ke Borobudur.



Dari Borobudur, kami kemudian pergi ke Parang Tritis dan menginap di Parang Tritis. Esoknya, kami berangkat lagi ke daerah keraton, masuk ke water castle kemudian pergi ke Prambanan dan Ratu Boko.
Hari itu kami menginap di penginapan seharga lima puluh ribu semalam di daerah Sosrowijayan. Esok paginya adalah puasa pertama. Hahaha. Ya, aku dan si Bebek tersesat di negeri orang dan melewatkan munggahan. Esok paginya aku dan Bebek pergi ke keraton kemudian nongkrong di depan benteng Vredburg.

Salah seorang tukang becak di sana menyarankan kami untuk pergi ke Kaliurang. Aku memang sangat ingin pergi ke Kaliurang, sayangnya peta yang kubawa tak lengkap, sehingga aku tidak tahu harus naik apa saja untuk sampai ke Kaliurang. Kemudian tukang becak itu memberikan rute dan jenis mobil yang harus dinaiki.
AJAIB! Jam 2 kami sudah sampai di Kaliurang, sambil puasa menaiki bukit. Leher terasa dicekik oleh rasa panas. Keringat bercucuran. Kemudian jam 3 kami turun lagi hingga sampai ke Malioboro.

Tukang  becak itu kemudian mengajak kami berbuka di Mesjid Gede. Di Mesjid Gede kami dibagi makanan dan minuman gratis. Baru kali itu aku diberi makanan gratis, rasanya seperti pengungsi dari bencana gunung Merapi. Haha.

Setelah berbuka, aku dan si Bebek segera pergi membeli oleh-oleh Bakpia dan jalan kaki sampai stasiun Lempuyangan, membeli tiket dan pulang ke Bandung.

Ternyata benar, don't judge book by its cover, jangan menghakimi si Bebek dari ketersesatannya. Haha. Backpacker sama Bebek adalah perjalanan yang paling menyenangkan setelah pergi dengan keluargaku tentunya. Haha.

Rasanya senang bertemu dengan wanita yang kuat jalan (asal gak dikasih tanjakan) sepertiku. Rasanya juga senang bertemu dengan wanita yang anggun tapi enerjik. Aku menunggu perjalanan selanjutnya dengan si Bebek ini.
Hehe.

Thanks, Bek...

Comments

Popular posts from this blog

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan