Semua orang punya otak, tapi ga semua orang bisa mikir. Semua orang punya hati, tapi ga semua orang pake hatinya itu.
Kata-kata itu seperti benang kusut dalam otak yang sedang saya coba untuk uraikan. Dan saya mulai menariknya dari satu benang, semoga saya memegang benang yang benar agar tidak membuat kumpulan benang kusut itu semakin rumit. Amin.
Sering, saya disuruh "mikir". Padahal, saya berotak, sudah pasti berpikir. Karena otak adalah pikiran. Saya marah ketika seorang teman saya mengoreksi saya habis-habisan dengan menyuruh saya "berpikir". Sebenarnya, saya tidak marah, hanya saja ketika ada orang yang mencaci, saya lebih suka diam dan mendengarkan. Terlihat lebih bijak, setidaknya bagiku.
Apa yang salah dengan otak dan berpikir? Tidak perlu penjelasan panjang lebar bahwa otak adalah hal yang konkrit dan bisa diukur sedangkan kemampuan berpikir adalah sesuatu yang abstrak dan tidak bisa diukur.
Setelah lama berseteru, akhirnya saya menyadari sesuatu. Saya benar, bahwa setiap otak pasti berpikir. Tentu! Sudah tercantum di semua buku pengetahuan dan ribuan ensiklopedi, kecuali semua penelitian tentang otak itu adalah sebuah kebohongan publik. Saya merasa penjelasan tentang otak besar dan otak kecil, otak kanan dan otak kiri semuanya benar, kecuali keberadaan otak tengah. Dan saya sendiri masih mencari tahu dimanakah sebenarnya si otak tengah ini. Tapi biarkan si otak tengah kita kepinggirkan dalam bahasan ini karena bukan saatnya mendebat tentang si otak tengah.
Jadi, dimanakah kesalahan saya hingga si teman saya malah menyuruh saya "berpikir"? Dengan kepala dingin dan mengesampingkan perasaan saya yang tercabik-cabik, saya mengerti bahwa saya terlalu "kerdil" dalam berpikir, dan kekerdilan itu dihitung sebagai "tidak berpikir" oleh teman saya. Teman saya mungkin punya pendapat bahwa "berpikir" itu berarti memikirkan sesuatu tidak hanya pada bagian atas saja, tetapi harus mendalam, bahkan hingga dasar. Jika kita posisikan proses berpikir itu adalah tingkatan kulit, maka saya hanya baru berpikir hingga sampai bagian ari saja, belum ke bagian dermis apalagi epidermis.
Sebenarnya, tujuan teman saya baik, dia menginginkan saya meninggalkan "kekerdilan" dalam berpikir. Dia ingin saya lebih cerdas dalam berpikir. Setelah mengerti maksud yang saya perkirakan ada dalam kata, "Mikir dong, eL!", maka meskipun hati saya sakit, saya berterimakasih padanya. Dan saya mengambil kesimpulan dari perseteruan itu, bahwa sebenarnya teman saya itu sangat menyayangi saya dan dia menginginkan saya lebih dewasa, tentunya dalam hal berpikir.
Ada hal yang kadang tidak diperhatikan juga oleh si teman saya itu. Hati. Dia punya hati, tepat di bawah diafragma di dada kanannya. Tapi, apakah hati itu hanyalah sebuah organ?
Saya rasa, organ hati dengan hati itu berbeda. Karena ditinjau dari beberapa buku pengetahuan, hati adalah organ tanpa sensor perasa. Lalu, kenapa ada sakit hati?
Ah, jika kita rasakan sendiri, sakit hati sendiri kadang terasa bukan di bawah diafragma, tapi justru di atas diafragma, tepat di tengah dada. Tapi letak jelasnya adalah di tengah dada, di atas diafragma agak ke kiri, lebih dekat ke jantung.
Lalu, kenapa disebut sakit hati, bukan sakit jantung? Saya mengambil kesimpulan sendiri dengan beberapa percobaan kecil. Mari kita merenung, kapan pertama kali kita jatuh cinta pada seseorang dan mengetahui bahwa orang itu ternyata tidak jatuh cinta pada kita?
Ya, tak perlu banyak jawaban. Saya menarik garis tengah bahwa itu semua terjadi pada usia 8 sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Ketika kita berumur 8 tahun, kita belum mengetahui bahwa di dalam perut kita ini terdapat hati, usus, lambung, pankreas dan lain-lain, kita cenderung percaya pada iklan yang menggambarkan bahwa di dalam perut terdapat ikan kecil yang memakan semua makanan yang kita makan, dan saya yakin bahwa jika anda lahir dari tahun 80-90an akan tahu iklan apa yang saya maksud. Juga karena faktor sinetron tahun 90-an, semua orang yang yang menyebut kata "hati" pasti akan memegang dadanya, bukan di bagian bawah kanan diafragma. Lalu, "pembodohan" itu dimulai.
Dan, rasa sakit itu pun dimulai. Sama seperti rasa sakit yang saya rasakan ketika si teman saya menyuruh saya "berpikir" padahal jelas bahwa saya memang berpikir. Saya tidak mau dicap sebagai manusia dari venus yang lebih menggunakan perasaan dari pada otaknya, maka saya pun mengesampingkan perasaan saya untuk menelaah maksud dari "berpikir" meskipun semakin saya pikirkan, rasa sakit itu semakin menjadi.
Saya merasa benar, bahwa semua orang punya hati, yang bukan organ, tapi tidak semua orang memakai hati atau perasaannya. Meskipun maksud si teman saya baik, agar saya lebih dewasa, tetap saja dia berlaku seolah dia tidak punya hati. Sambil menulis, saya mencibir dirinya, dasar manusia dari planet mars!
Terlintas di otak saya, di dunia ini banyak orang yang tidak memakai hatinya. Padahal, tidak salah juga menggunakan perasaan sambil berpikir. Pemikiran membuat kebijakan, perasaan membuat kenyamanan. Andai saja semua orang menggunakan keduanya, tentunya semua kebijakan akan membuat nyaman.
Apakah otak itu harus berduel dengan hati? Ataukah mereka bisa berjalan bersamaan?
Saya rasa, ketika saya memutuskan untuk tetap memikirkan suruhan "berpikir", perasaan saya tidak saya hiraukan terlebih dahulu. Dan ketika saya memutuskan memaafkan dia yang telah menyakiti hati saya pun, saya tidak menghiraukan pemikiran saya yang bilang bahwa "Masa udah kuliah sampe semester tujuh masih aja disuruh mikir? Emangnya saya lulus SD ga mikir?".
Saya masih ingin diam saat dia mulai menyapa lagi, tapi saya tidak bisa bohong juga bahwa saya lebih merindukan bicara dengannya dari pada berdiam diri.
"eL!" Serunya padaku.
"Ya, sayang?" Jawabku. Bagaimana pun, saya tidak hidup dengannya di masa lalu, saya hidup dengannya hari ini dan besok, seterusnya, selama kita bisa. Hey, saya sedang menggunakan otak dan hati saya bersamaan!
110911
Comments
Post a Comment