Skip to main content

untuk 1 orang...

---untuk kau yang cantik di sebrang mejaku
Kau mendiamkanku, entah sudah berapa jam sejak terakhir kau bicara denganku. Aku tahu aku telah melakukan hal yang membuatmu kesal. Aku menyadari dan aku sedang dalam keadaan sengaja melakukannya.
Kau diam. Aku juga diam. Kau tak mau menyapa. Akupun enggan. Kau berharap kau dapat mengguncang perasaanku? Tidak lagi. Ketika kau diam. Aku juga akan diam. Kita lihat, siapa yang akan menang, Tuan...
Aku menyukaimu yang banyak bicara dan terlihat pintar di hadapanku. Aku suka menjadikan diriku bodoh di hadapanmu agar kau selalu bicara. Tapi jika kau adalah baja, aku memilih menjadi titanium.

---kau, yang duduk di dekat dinding dan aku berdiri di dekat jendelanya
Kau juga mendiamkanku. Aku mengharapkan kau menyapaku sejak kemarin. Ah tidak, dari sebulan, mungkin 2 bulan yang lalu. Sekarangpun aku masih mengharapkannya. Tapi aku tak begitu ambisius seperti kemarin karena kutahu kau merindukanku.
Hey, aku juga merindukanmu. Tak bisakah kita melupakan kebencianmu padaku karena aku lalai pada kewajibanku menjadi penghiburmu?
Aku tak ingin menjadi penghiburmu. Tapi aku sedang ingin menghibur diriku sendiri dengan menghiburmu.
Aku menyukai kehidupan kita yang lama. Aku menyukai semua ceritamu. Dan hanya padamulah cerita hidupku nyaman berlabuh.

---dirimu, yang meneguk dedak pahit di ruang tamuku
Semut-semut itu bercerita padaku tentang sebuah lelucon sederhana. Dan aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Kau tahu, aku melihatmu seperti koin yang sedang berputar. Kau sedang menunggu koin itu berhenti berputar dan terguling. Entah kepala atau ekor. Maju atau mundur. Setia atau menjadi merpati lagi.
Aku juga menunggu koin itu berhenti berputar. Karena aku tak mau menepuknya dan memberikan sebuah takdir untuk koin itu.
Lelucon itu akan terus terasa lucu, selamanya...
Aku suka caramu menghiburku. Kau membuatku selalu tertawa dengan bingkisan kecilmu. Tatapanmu.
Tapi kau adalah sumber noise di hidungku yang begitu sensitif ini.

---kamu keluar dari kamar mandi dengan muka yang baru saja terbasuh air di pagi hari
Aku tak memanggilmu "kau", kau benci itu. Jadi kupanggil kamu. Aku berdiri di depan pintu rumahmu. Aku segera mengenalimu saat suara air berjatuhan dari gayung di kamar mandimu. Kau baru saja terbangun, terbangun karena aku menarikmu paksa dari alam mimpimu.
Aku akan lebih sering menarikmu dari alam mimpimu. Karena aku akan berada di depan pintu rumahmu setiap pagi. Karena aku butuh tempat untuk melepas tawaku dulu...
Hahahaha...
Aku suka senyummu! Aku suka wajah polosmu saat mendapatiku sudah berada di dalam rumahmu.

---pria dengan wajah termanis yang pernah kulihat
Kau dulu sering mendiamkanku. Aku bagaikan lalat yang kau perhatikan, ingin kau tepuk tapi urung kau bunuh. Aku selalu merasa hidup dalam bayangan sejak pertama aku bertemu denganmu. Aku merasa kau tak pernah melihatku sebagai sebuah refleksi alam ide menuju kenyataan.
Tapi aku menyapamu duluan. Aku bukannya mengalah. Tapi aku mendengar suaramu bergetar ketika bicara padaku. Aku tahu kegelisahan dari caramu menghela nafas ketika bicara denganku. Kau bahagia bicara denganku.
Dan aku akan terus bicara denganmu. Aku akan terus mengganggumu. Hingga kau bosan. Hingga kau mengusirku...
Karena aku menyukai tawamu, aku suka matamu. Kau membuaiku dengan cerita-ceritamu. Dan kau membuatku tertidur nyenyak di sampingmu meskipun dinginnya embun menusuk tulang belakangku.

Dengan caranya sendiri, kau membawa senyum untukku. Membuatku selalu meminta maaf untuk kesalahan-kesalahan yang kulakukan. Membuatku menyesal dalam tiap khilaf. Tapi aku tahu, hanya karena maaf itu bisa diminta, maaf itu tak menjadi mudah.
Aku sungguh meminta maaf dari hati, bukan mulutku...


14 Maret 2011

Comments

Popular posts from this blog

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan