Kita tertawa kemarin. Kau ceritakan kisahmu, aku mendengarkan. Itulah aturan utamanya. Dan aku mengikutinya dengan baik sejauh ini. Selama ini.
Aku takkan melihat kemana-mana lagi dan hanya menatap satu titik. Matamu. Itu adalah aturan kedua.
Aku akan banyak diam. Mengikuti alur ejekan dengan senyum dan berharap malam segera merayap datang. Aku diharuskan berhati pelawak. Tak boleh memasukan satu kata jahilpun dalam hatiku agar tak terluka. Itu aturan yang ketiga.
Dari semua aturan yang tersedia. Selama ini aku melakukannya dengan baik. Aku melewati alurnya dengan sabar. Aku tak pernah mengeluh. Aku lebih banyak tertawa dan selalu kuucapkan terimakasih untuk tawa hari ini. Lalu apa salahku?
Kenapa tiba-tiba kalian membuatku merasa seperti orang jahat? Apakah aku melewatkan salah satu aturan itu? Apakah aku melanggar aturan yang tersirat itu?
Aku dibuat untuk merasa bersalah tanpa alasan yang jelas! Aku dibuat bingung dengan sikap yang mendadak dingin dan senyum kecut. Anggap saja aku orang bodoh, tapi aku memperhatikan seperti pada aturan nomor dua.
Aku dibuat untuk meminta maaf pada kesalahan yang tak kutahu apa. Aku tak bermasalah untuk selalu meminta maaf. Tapi apa salahku? Bukankah sejauh ini aku telah melakukan segalanya dengan cukup baik?
Apakah aku terlalu memperhatikan sekelilingku? Apakah aku terlalu perasa? Atau aku memang bersalah tapi tak tahu dimana letak kesalahanku?
Aku sungguh berharap untuk diberi tahu. Aku tak secerdas seperti bayanganmu untuk menyuratkan hal-hal yang tersirat. Aku tak pernah berspekulasi tentang seseorang. Aku tak ingin berkomentar. Aku ingin mendengar.
Aku jauh datang kesini untuk mendengar kejelasan. Jika aku didiamkan seperti di tempat asalku. Untuk apa aku hijrah kesini ketika aku mendapatkan perlakuan yang sama?
Jadi apa salahku untuk sikap dinginmu? Aku terus berpikir tentang kesalahan-kesalahan. Hal-hal kecil yang mungkin menyakitkan hati. Satu kata yang menjepit pembuluh darah utama yang bisa saja menyebabkan rasa kebas.
Apa? Apa salahku hingga membuat senyummu bertengger masam? Aku kira kita bersaudara. Aku kira bersaudara itu berarti kau bicara dan aku mendengarkan. Aku tak berharap timbal balik untuk kau mendengarkanku dan aku yang bicara. Sungguh. Mendengar saja aku sudah cukup bahagia.
Aku merasa menjadi sumber noise dalam sebuah film yang tak diinginkan. Aku merasa seperti gambar yang bocor karena kehadiranku. Mungkin aku harus hijrah ke tempat asalku. Ke duniaku yang dulu. Dimana orang-orang juga tak mau bicara denganku.
19 Februari 2011
Comments
Post a Comment