Satu cerita ini adalah cerita favorit saya di kumpulan cerita karya Kusmarwanti dari buku Panggilan Rindu dari Langit. Judul ceritanya adalah isi otak-otak atik... buku ini saya beli waktu saya masih kelas 3 SMP, mungkin kalo sekarang udah ga ada lagi kecuali kalo di cetak lagi sama penerbitnya... hehehe... Cerita ini selalu saya baca dan ga pernah bosen sama ceritanya, hampir 80 persen kata-kata dari cerita ini saya hafal dan jadi RENUNGAN sekaligus cermin buat diri saya sendiri bahwa didunia ini, masih banyak yang bisa menyayangi saya diantara kumpulan orang yang kurang menyayangi saya. ^^
Beberapa waktu lalu, saya memberi tugas kepada anak-anak didik saya untuk membuat sebuah cerpen. Salah satu karya mereka telah menarik perhatian saya.
"Apakah Ibu diizinkan membaca cerpen ini di depan teman-temanmu?"
Si pemilik cerpen menggeleng.
"Kenapa?" tanya saya lagi.
Ia tak menjawab alasannya. Saya terus memaksa, dan akhirnya dia menyerah.
Sayapun mulai membaca cerpen berjudul "Isi Otak-Otak Atik" itu di depan kelas. Baru sampai di kalimat kelima, ia minta izin keluar. Malu, katanya.
"Tulisanmu bagus sekali. Kenapa malu?"
"Nggak, Bu. Saya malu!" Seperti biasa, ia menolak perintah saya. Sama seperti sikapnya saat pelajaran-pelajaran biasa. Mau tak mau saya mengizinkannya keluar.
Saya kembali membaca cerpen itu hingga usai:
ISI OTAK-OTAK-ATIK
...
Aku berjalan terus kearah utara. Jauh... jauh sekali. Sudah sekitar dua jam aku berjalan mulai dari sebuah tugu tua di tengah kota yang sangat ramai. Kendaraan-kendaraan berbagai merk lalu lalang di jalan raya, mulai dari Mercy yang mulus sampai colt Isuzi butut yang bersuara bising.
...
Di tengah perjalanan, aku lihat semua orang menatapku dengan sinis, seakan-akan aku adalah maling ayam yang baru tertangkap. Aku bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apa salahku, apa dosaku kepada mereka, mengapa mereka menatapku seperti itu? Oh biarlah, biarlah mereka menatapku sampai mata mereka keluar dari lubangnya!
Tes, tes, tes, tes.
Tiba-tiba hujan turun. Aku heran, mengapa hujan turun di saat sang mentari masih bersinar. Ah biarlah. Mungkin dewa hujan juga membenciku sehingga ia menurunkan hujannya yang deras kepadaku. Dan mungkin dewa awan hitam enggan bertemu denganku, karena takut melihat keadaanku yang buruk ini. Seperti juga orang yang membenciku.
Semakin lama kulihat hujan semakin deras, angin bertiup sangat kencang, petir menyambar-nyambar dengan keras dan aku lihat burung-burung beterbang ke sana kemari mencari tempat berteduh. Namun aku tak peduli. Aku tetap berjalan dengan perlahan.... perlahan... dan perlahan..
Lama kelamaan kurasa tubuhku tak kuat lagi berjalan di tengah hujan sederas ini, dan akhirnya aku terjatuh dan terlentang dipinggir jalan. Semua orang tahu, semua orang diam, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak seorangpun yang sudi menolongku... Dan aku masih tergeletak di situ sampai malam merayap datang.
...
Tiba-tiba hujan turun kembali dengan derasnya, dan aku semakin kedinginan.
Aku berusaha memejamkan mata, namun sepertinya mataku sedang tak mau diajak kompromi.
Tiba-tiba terlintas di pikiranku wajah ayahku, ibuku, kakakku, adikku, teman-temanku, dan semua orang yang membenci dan memusuhiku. Dalam hati aku meratap, "Oh tuhan, jika engkau mau, ambil nyawaku sekarang juga. Aku tak tahan lagi dengan semua ini!"
Aku mulai mencoba memejamkan mataku kembali dalam kegelapan dan kesunyian malam. Hhh, saat ini aku hanya berharap sebuah mimpi yang indah, dimana semua orang mencintaiku, menyayangiku, semuanya...
Hhh, aku ingin tidur panjang, panjang sekali. Lama, dan lama sekali. Karena esok pagi matahari pasti akan bersinar terang dan semua orang pasti akan mencintaiku, menyayangiku dan mengasihiku. Esok pagi, aku harus kembali terus berjalan untuk mencari tahu sampai kapan aku begini. Aku akan menemui sang nasib, agar dia mau mengubah kesialanku menjadi keberuntungan. Kini aku hanya bisa berharap, semoga hari esok jauh lebuh baik dari hari ini.
Hhh, selamat tidur...
Ada suara isakan. Salah seorang murid menghapus air matanya.
Bagi penulis lain, cerpen itu mungkin biasa saja. Tapi, tulisan ini menjadi luar biasa karena ditulis oleh seorang murid saya yang 'unik'.
Ia biasa duduk di pojok dekat jendela. perhatiannya selalu tertuju keluar, menenggelamnkan diri diantara keramaian jalan raya dan pertokoan. Ia biasa membawa dua buah buku saja, dan sebuah helm kesyaangan yang bertempel banyak stiker.
Saat pelajaran dimulai, seringkali tak ada apa pun di mejanya. Ia enggan mencatat dan mengerjakan tugas. Ia menghadirkan dirinya, tapi tidak hati dan pikirannya. Ia juga sering bolos. Panggilan dari BP sudah jadi rutinitas. Guru-guru asyik memperbincangkannya.
Setiap kali guru melontarkan pertanyaan padanya, ia hanya menjawab dengan senyum, dan berkata, "Nggak, Bu!" Bahkan, ia bisa bermenit-menit di depan kelas dengan senyum-senyum saja jika saya memintanya praktek pidato atau membuka acara. Saya jarang mendengar suaranya.
Dulu, saat saya mencoba mendekatinya, ia bercerita bahwa ia merasa tak mengenal orang tua yang setiap hari ia temui di rumah. Hidupnya amburadul. Ketika ia ketagihan narkoba, ia sering mencuri uang milik siapa saja.
"Saya hanya bercerita untuk ibu," pesannya waktu itu.
"Gimana kamu hidup dengan kebiasaan kayak gini? Kamu nggak takut?"
"Nggak!" Jawabnya tegas. "Hidup saya saat ini saja. Kalau nyawa saya dicabut hari ini, ya silakan!" katanya enteng.
Lalu, tiba-tiba dengan sungguh-sungguh ia menyerahkan naskah cerpennya yang diketik rapi. Padahal biasanya ia hanya tersenyum ketika saya menagih tugasnya untuk pengisian nilai. Tak disangka, ia memiliki curahan hati dan ekspresi perasaan seperti itu. IA BEGITU INGIN DICINTAI.
Usai membaca cerpen itu, saya meminta dua anak untuk membelikan sebuah kado mungil. Saya ingin menunjukan padanya bahwa banyak orang yang mencintainya.
Bersama kado itu, disertakan kertas berisi pesan-pesan dari teman-temannya. Hampir semua anak ikut menuliskan pesan itu. Salah satunya berbunyi, "Semua temanmu dikelas ini menyayangimu. Semua mendukungmu..."
Jadilah hari itu hari yang mengharukan dikelas ini.
Saat saya memeriksa hasil ulangan umum, ia menuliskan sebuah catatan kecil di akhir lembar jawabannya:
Buat ibu Koes,
Terimakasih atas pemberian ibu kepada saya. Saya akan selalu mengingat nasihat ibu. Ibu memang guru yang paling 'top' buat saya.
Maafin sikap saya waktu hari sabtu lalu ya bu! Sekali lagi, saya ucapkan makasih buat kebaikan ibu kepada saya selama ini.
Sampai jumpa (semoga ibu masih saya temui) dan tetap semangat!
Beberapa waktu lalu, saya memberi tugas kepada anak-anak didik saya untuk membuat sebuah cerpen. Salah satu karya mereka telah menarik perhatian saya.
"Apakah Ibu diizinkan membaca cerpen ini di depan teman-temanmu?"
Si pemilik cerpen menggeleng.
"Kenapa?" tanya saya lagi.
Ia tak menjawab alasannya. Saya terus memaksa, dan akhirnya dia menyerah.
Sayapun mulai membaca cerpen berjudul "Isi Otak-Otak Atik" itu di depan kelas. Baru sampai di kalimat kelima, ia minta izin keluar. Malu, katanya.
"Tulisanmu bagus sekali. Kenapa malu?"
"Nggak, Bu. Saya malu!" Seperti biasa, ia menolak perintah saya. Sama seperti sikapnya saat pelajaran-pelajaran biasa. Mau tak mau saya mengizinkannya keluar.
Saya kembali membaca cerpen itu hingga usai:
ISI OTAK-OTAK-ATIK
...
Aku berjalan terus kearah utara. Jauh... jauh sekali. Sudah sekitar dua jam aku berjalan mulai dari sebuah tugu tua di tengah kota yang sangat ramai. Kendaraan-kendaraan berbagai merk lalu lalang di jalan raya, mulai dari Mercy yang mulus sampai colt Isuzi butut yang bersuara bising.
...
Di tengah perjalanan, aku lihat semua orang menatapku dengan sinis, seakan-akan aku adalah maling ayam yang baru tertangkap. Aku bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apa salahku, apa dosaku kepada mereka, mengapa mereka menatapku seperti itu? Oh biarlah, biarlah mereka menatapku sampai mata mereka keluar dari lubangnya!
Tes, tes, tes, tes.
Tiba-tiba hujan turun. Aku heran, mengapa hujan turun di saat sang mentari masih bersinar. Ah biarlah. Mungkin dewa hujan juga membenciku sehingga ia menurunkan hujannya yang deras kepadaku. Dan mungkin dewa awan hitam enggan bertemu denganku, karena takut melihat keadaanku yang buruk ini. Seperti juga orang yang membenciku.
Semakin lama kulihat hujan semakin deras, angin bertiup sangat kencang, petir menyambar-nyambar dengan keras dan aku lihat burung-burung beterbang ke sana kemari mencari tempat berteduh. Namun aku tak peduli. Aku tetap berjalan dengan perlahan.... perlahan... dan perlahan..
Lama kelamaan kurasa tubuhku tak kuat lagi berjalan di tengah hujan sederas ini, dan akhirnya aku terjatuh dan terlentang dipinggir jalan. Semua orang tahu, semua orang diam, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak seorangpun yang sudi menolongku... Dan aku masih tergeletak di situ sampai malam merayap datang.
...
Tiba-tiba hujan turun kembali dengan derasnya, dan aku semakin kedinginan.
Aku berusaha memejamkan mata, namun sepertinya mataku sedang tak mau diajak kompromi.
Tiba-tiba terlintas di pikiranku wajah ayahku, ibuku, kakakku, adikku, teman-temanku, dan semua orang yang membenci dan memusuhiku. Dalam hati aku meratap, "Oh tuhan, jika engkau mau, ambil nyawaku sekarang juga. Aku tak tahan lagi dengan semua ini!"
Aku mulai mencoba memejamkan mataku kembali dalam kegelapan dan kesunyian malam. Hhh, saat ini aku hanya berharap sebuah mimpi yang indah, dimana semua orang mencintaiku, menyayangiku, semuanya...
Hhh, aku ingin tidur panjang, panjang sekali. Lama, dan lama sekali. Karena esok pagi matahari pasti akan bersinar terang dan semua orang pasti akan mencintaiku, menyayangiku dan mengasihiku. Esok pagi, aku harus kembali terus berjalan untuk mencari tahu sampai kapan aku begini. Aku akan menemui sang nasib, agar dia mau mengubah kesialanku menjadi keberuntungan. Kini aku hanya bisa berharap, semoga hari esok jauh lebuh baik dari hari ini.
Hhh, selamat tidur...
Ada suara isakan. Salah seorang murid menghapus air matanya.
Bagi penulis lain, cerpen itu mungkin biasa saja. Tapi, tulisan ini menjadi luar biasa karena ditulis oleh seorang murid saya yang 'unik'.
Ia biasa duduk di pojok dekat jendela. perhatiannya selalu tertuju keluar, menenggelamnkan diri diantara keramaian jalan raya dan pertokoan. Ia biasa membawa dua buah buku saja, dan sebuah helm kesyaangan yang bertempel banyak stiker.
Saat pelajaran dimulai, seringkali tak ada apa pun di mejanya. Ia enggan mencatat dan mengerjakan tugas. Ia menghadirkan dirinya, tapi tidak hati dan pikirannya. Ia juga sering bolos. Panggilan dari BP sudah jadi rutinitas. Guru-guru asyik memperbincangkannya.
Setiap kali guru melontarkan pertanyaan padanya, ia hanya menjawab dengan senyum, dan berkata, "Nggak, Bu!" Bahkan, ia bisa bermenit-menit di depan kelas dengan senyum-senyum saja jika saya memintanya praktek pidato atau membuka acara. Saya jarang mendengar suaranya.
Dulu, saat saya mencoba mendekatinya, ia bercerita bahwa ia merasa tak mengenal orang tua yang setiap hari ia temui di rumah. Hidupnya amburadul. Ketika ia ketagihan narkoba, ia sering mencuri uang milik siapa saja.
"Saya hanya bercerita untuk ibu," pesannya waktu itu.
"Gimana kamu hidup dengan kebiasaan kayak gini? Kamu nggak takut?"
"Nggak!" Jawabnya tegas. "Hidup saya saat ini saja. Kalau nyawa saya dicabut hari ini, ya silakan!" katanya enteng.
Lalu, tiba-tiba dengan sungguh-sungguh ia menyerahkan naskah cerpennya yang diketik rapi. Padahal biasanya ia hanya tersenyum ketika saya menagih tugasnya untuk pengisian nilai. Tak disangka, ia memiliki curahan hati dan ekspresi perasaan seperti itu. IA BEGITU INGIN DICINTAI.
Usai membaca cerpen itu, saya meminta dua anak untuk membelikan sebuah kado mungil. Saya ingin menunjukan padanya bahwa banyak orang yang mencintainya.
Bersama kado itu, disertakan kertas berisi pesan-pesan dari teman-temannya. Hampir semua anak ikut menuliskan pesan itu. Salah satunya berbunyi, "Semua temanmu dikelas ini menyayangimu. Semua mendukungmu..."
Jadilah hari itu hari yang mengharukan dikelas ini.
Saat saya memeriksa hasil ulangan umum, ia menuliskan sebuah catatan kecil di akhir lembar jawabannya:
Buat ibu Koes,
Terimakasih atas pemberian ibu kepada saya. Saya akan selalu mengingat nasihat ibu. Ibu memang guru yang paling 'top' buat saya.
Maafin sikap saya waktu hari sabtu lalu ya bu! Sekali lagi, saya ucapkan makasih buat kebaikan ibu kepada saya selama ini.
Sampai jumpa (semoga ibu masih saya temui) dan tetap semangat!
Masya Allah. Saya juga akan selalu mengingat dia dan tak bosan-bosan mengingatkannya, "Hidup ini tak panjang, Nak!"
Yogyakarta, 14 Maret 2002.
Comments
Post a Comment