Skip to main content

"Kejujuran yang kutertawakan"

"Bagaimana kita bisa hidup didunia ini jika kejujuran itu ditertawakan?"
-Botchan-

Siang itu, seorang anak menghampiriku. Mukanya lesu dan bibirnya pucat. Dia berdiri dihadapanku dan dengan suara setengah berbisik, dia bicara padaku, "Teh, hari ini saya ga puasa soalnya saya lagi sakit, boleh ga kalo saya minum obat?"
"Ya boleh aja, sok sana minum obatnya..." Kataku. Kemudian anak itu berterimakasih padaku dan pergi. Tak lama kemudian, aku melihatnya menelan beberapa butir obat dan meneguk air di botol.

Saat aku sedang diam dan memperhatikannya dari kejauhan, aku justru mulai menertawakan kejujuran anak tadi. Untuk apa dia mengaku padaku bahwa dia sedang tak berpuasa dan meminta ijinku untuk meminum obat? Apakah karena aku seniornya maka dia merasa lebih takut padaku daripada takut pada Tuhan?
Perutku serasa digelitiki oleh ribuan tangan jahil dan aku mulai tertawa sambil menghela nafas panjang. Mengapa aku harus menertawakan kejujuran anak tadi? Bukankah aku sama saja seperti orang-orang yang juga menertawakan kejujuran anak tadi padaku?
Aku kemudian berpikir, mungkin saja kejujuranku itu dianggap sesuatu yang bodoh, keterlaluan polosnya dan kemudian aku semakin ditertawakan ketika aku mengulangi kejujuranku itu tanpa rasa bersalah. Mungkin saja orang-orang itu mengecapku sebagai orang yang tak tahu diri, kemudian rasa geli mereka berubah menjadi rasa benci.
Tapi untuk anak tadi, aku tak sedikitpun merasa benci, aku justru sangat menghargai kejujurannya, aku merasa sedikit berbangga hati ternyata dia lebih takut padaku daripada Tuhannya.... hahahaha...

"Makasih teh." Kata anak itu saat berpapasan denganku lagi. Aku tak lupa untuk menanyakan keadaannya dan mengecek kesehatannya setiap kali aku mengingat kejadian tadi.

Entah apa yang akan dipikirkan orang-orang ketika menghadapi situasi yang kualami kemarin. Yang jelas, aku takkan menertawakan anak itu, aku justru malu pada diriku sendiri jika menertawakan sebuah kejujuran.
Anak itu mengingatkanku pada rasa sungkan, yang terkadang orang lain lupakan karena merasa dirinya paling benar. Anak itu juga mengingatkanku pada masa kanak-kanakku dulu, karena dulu akupun lebih takut pada ibuku daripada pada Tuhanku untuk membatalkan puasaku.
Jadi aku mulai menertawakan diriku sendiri, karena telah melupakan kejujuran yang dulu kulakukan.
Aku ingat, dulu temanku selalu merengek, "Aduh lapar... lapar... lapar...", padahal dulu aku sudah kelas 3 SMP, saat itu semuanya terasa lucu dan seolah menyemangati agar aku tak membatalkan puasaku, tapi sekarang, mungkin saja ketika aku berteriak LAPAR saat jam 1 siang, semua orang akan mulai mencibirku.

Mengapa kejujuran itu harus ditertawakan? Aku akan mulai menghargai setiap kejujuran, dan bukan menertawakannya...


dari 16 agustus 2010
ditulis 19 agustus 2010

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan