Skip to main content

air mata kemarin


Aku tersungkur dalam kegelapan...

Mataku terbutakan oleh makanan yang ada didalam perangkap...

oleh siksaan dalam kata-kata manis...


Aku hanya ingin menyendiri...

menangis didalam hujanku setiap hari tanpa memperdulikan sekelilingku

Aku hanya ingin berteriak...

"KEMBALIKAN DUNIAKU !"

hingga aku bertanya...

"Memangnya... Seperti apa duniaku ? Apakah duniaku yang sebelum ini lebih baik ? Tidak... Dulu aku menangis dalam hujan... Tanpa alasan... Merasa tersakiti... oleh kata-kata yang tak terucapkan... Merasa sendirian... padahal tak seorangpun meninggalkanku... karena aku memang hidup sendirian... Merasa jauh... sebenarnya aku berada ditengah kesunyian dan tak pernah ada seseorang disampingku."


Aku berdoa untuk...

seseorang yang kucintai...

tapi...

siapa ?

aku bahkan tak bertemu dengan siapapun selama ini.

lalu...

siapa yang kucintai ?

apakah dia adalah orang yang menatapku saat aku melihat diriku didalam cermin ?

"Aku sakit, TUHAN !"

Tapi... aku bertanya...

"Sakit apa yang kuderita ? Dia menjeratku... menahanku agar aku tidak bisa berlari kemana-mana. Membuatku bertahan di dalam kurungannya, dia tersenyum melihatku tersakiti... Kini aku lepas darinya, tapi sesuatu itu hilang..."

Perlahan angin bergerak, meniup segala tanyaku dan menggerakan tanyaku pada semua orang yang ada.

Tapi...

Tak seorangpun membalas tanyaku.

Angin...

Mengapa kau sibakan tanyaku ?

Mengapa kau buang seolah tanya ini hanyalah sampah ?

Mataku terpejam untuk waktu yang lama.

Tak kugunakan lagi hatiku untuk merasa...

Karena bagiku semuanya tak ada arti...

"Aku pernah bertemu dengannya. Dia adalah orang pertama yang memperhatikanku saat aku berdiri sendirian." Kataku. "...Dia juga yang seakan tak ingin tahu tentang aku yang mengetahui matanya menatapku. Mungkin dia anggap aku boneka ! Yang sedang dia tertawakan... Dalam hatinya..."

Aku merasa bersedih kembali...

Karena dia menertawakanku...

Karena pandangannya yang merendahkanku...

Aku membencinya !

Membenci dia yang memiliki pandangan seperti itu.

"Aku sering melihatmu." Katanya suatu siang saat aku duduk sendirian.

"Tidak." Jawabku cepat.

"Ya." Katamu. "...aku selalu memperhatikanmu..."

Tentu saja !

Manusia mana yang takkan melihatmu memperhatikanku dengan pandangan seperti itu ?

"Maaf... jika aku mengganggumu."

"Kumaafkan."

Aku menatapnya seperti musuh yang bersiap kubunuh...

Aku menatapnya seperti singa yang bersiap memakan buruannya...

Aku menatapnya begitu kasar dan menjenuhkan...

Tapi dia terus bicara...

Seolah-olah tak merasakan betapa bencinya diriku...

Semuanya terus terjadi...

Tak ada perubahan dari tatapan mataku untuknya...

Tak ada satu kata manis terlontar dari bibirku...

Hanya kata-kata kasar untuk mengusirnya, tapi dia...

Menolak untuk pergi...

Sekarang dirinya seperti seekor burung yang mematahkan sayapnya untuk selalu ada disampingku...

"Bagaimana dengan tugasmu ?" Dia masih menanyakan tentang kegiatanku.

Aku menatapnya untuk pertama kali...

Dengan tatapan bersahabat.

"Apa ?" Tanyanya. Bibirnya membentuk semburat garis senyum.

Manis...

Kurasakan angin menerbangkan kata-kata tanyaku kembali kesini...

Dihadapan orang ini...

Seseorang yang akan menjawab pertanyaanku.

"Apa yang kau cari dariku ?"

"Kebahagiaan..."

"Aku tidak memilikinya. Aku bahkan mencarinya."

Semburat senyumnya terlihat lebih lebar.

"Aku tidak tahu jika aku memperhatikanmu..."

"Aku hanya memperhatikan seorang wanita yang berdiri sendirian... Dengan isi kepalanya berhamburan... Menerbangkan jutaan tanya pada angin... Kudengar salah satu pertanyaanmu... Dan aku disini bersedia untuk menjawabnya..."

Aku menatap wajahnya.

"Aku tak butuh jawaban."

Kau tersenyum.

"Karena kau pernah merasakan jawabannya. Tapi aku disini menawarkan jawaban dengan beberapa pengecualian..."

Aku menutup mataku.

"Aku tak ingin mendengarnya..."

Kudengar kau menarik nafasmu.

"Aku tahu kau selalu sendiri, selalu tersakiti... Aku hanya membawa jawaban yang sama atas kesendirianmu... Aku tak membawa obat untuk lukamu... Karena lukamu hanya dapat terobati oleh dirimu sendiri... Aku hanya ingin... mengingatkanmu tentang rasa bahagia... Sekali lagi..."

Baru saja berakhir air mataku...

seakan semuanya baru terjadi kemarin dan aku serasa baru lepas dari genggaman seseorang yang menjeratku...

Kini dihadapanku berdiri seseorang yang akan menjeratku...
dan dia bicara...

"Aku takkan pernah menjeratmu... jika kau percaya, kaulah yang akan dengan sendirinya menghampiriku, tanpa harus kujerat. Aku hanya butuh memegang tanganmu. agar kau selalu tahu bahwa aku berada disini. Agar kau bisa merasakan kehadiranku. Agar kau tahu kau tidak sendirian. Dan... Agar tanganmu yang kugenggam ini takkan bisa menghapus air matamu. Jadi... aku yang akan menghapusnya... Tanganmupun tak perlu menutupi senyum itu. Karena... senyum itu adalah parameter aku masih bisa menggenggam tanganmu. Jika nanti kau merasa lelah. Merasa tak menyukai genggaman tanganku lagi... Bicaralah padaku untuk melonggarkan genggamanku. Tapi... Jangan perlahan-lahan melepaskan genggaman tanganku... Karena... Kau akan menciptakan hujan baru dalam duniaku. Aku tak ingin menemui hujan... Sama sepertimu yang lelah kehujanan dan kedinginan... Aku ingin mengejar matahari, bersamamu. Maka... ijinkan aku... mulai detik ini menggenggam tanganmu. Aku berjanji takkan melepaskannya sampai kapanpun. Jika... Kau merasakan ingin digenggam oleh orang lain selain aku... Bicaralah... Maka aku akan melepaskan genggaman tanganku ini... Kau tidak perlu khawatir hujan dalam duniaku akan membuatku kedinginan. Karena bicara lebih baik... Akan kuhargai jika suatu saat kau memintaku melepaskan genggaman tangan ini. Jadi bagaimana ? Bolehkah aku menggenggam tanganmu ?"

Aku masih berdiri mematung, memperhatikan matanya yang tak bergerak, seakan di matanya hanya melihatku seorang.

"Ini nyata..."

Kulihat tangannya yang terbuka, menantiku menyambutnya.

"Kau boleh menyentuhnya jika kau merasa aku berbohong."

Aku menggerakkan telunjukku menyentuh tangannya.

perlahan...

seakan tangannya adalah sesuatu yang panas...

atau dingin...

mungkin menyakitkan jika disentuh...

atau...

ini semua akan hilang saat aku menyentuhnya ?

"Hangat..." Gumamku dalam hati.
Jadi seperti inikah tangan orang yang tidak akan menjeratku ?

"Genggamlah tanganku... sebagai bukti kau mempercayaiku untuk menggenggam tanganmu... Ayo..."

Aku melebarkan jari jemariku dan menggenggam tangannya perlahan.
Ada rasa bahagia saat aku harus menggenggam tangannya.
Ada rasa nyaman saat menyentuh tangannya.

"Apakah itu senyum ? Apakah itu lesung pipit ?"

Aku menundukan wajahku untuk menutupi wajahku dengan tanganku yang lain.

"Takkan... takkan kubiarkan tangan manapun menutupi senyummu... Biarkan... Biarkan aku tahu... Bahwa... Kau senang bersamaku... Sekarang... Bolehkan aku... Menggenggam tanganmu ?"

Aku terdiam, memandangi matanya yang tak bergerak, hanya menatapku seorang.

"Aku berjanji... Saat aku menggenggamnya... Aku tidak akan pernah melepaskannya... Kecuali kau memintaku..."

Aku menarik nafasku. Ada rasa sesak di dalam dadaku.
Tapi...
Bukan rasa sakit...
Disini...
Seperti ada ribuan kincir angin yang bertiup saat kutarik nafasku.
Rasanya aneh
Tapi...
Menyenangkan...
Dan aku takkan bisa menutupi senyumku...

"Apa arti senyum itu ?" Tanyanya dengan sunggingan kecil di bibirnya.

Seolah

mengharapkan sesuatu

keluar dari mulutku

"Ketika orang marah..." Kumulai kata-kataku. "...mereka selalu berbicara dengan keras dan berteriak. Aku mempertanyakan kenapa..."

"Dan aku tahu... Mereka berteriak karena hati mereka menjadi sangat jauh... Karena itu... Mereka membesarkan volume suaranya... Dan terdengarlah teriakan itu... Tapi... Ketika seseorang jatuh cinta. Dan... Berada didekat orang yang dicintainya... Terkadang tak perlu banyak kata yang terucap... Karena... Hati mereka dekat... Terlalu dekat hingga tanpa bicara... pun... Apa yang ingin disampaikan... Terdengar..."

Dia menatapku masih dengan sunggingan kecil di bibirnya, matanya berkilat penuh harap.

"Seharusnya... kata-kata yang ingin kuucapkan akan terdengar..." Gumamku dalam hati.

"Terdengar..." Katamu pelan.

"Aku mendengarnya terlalu keras..." Kataku. Kata-kata kita terdengar seperti bisikan.

"Dan aku mendengar sebuah getaran... ucapkanlah... karena aku ingin telingaku ini mendengarnya, aku ingin melihat bibirmu bergerak mengucapkannya, aku ingin merasakan hadirnya kata-kata itu."

"Genggamlah..."

Tanganmu yang terbuka perlahan menutupi tanganku.

Semuanya...

semakin hangat...

"Ini... hujan kan ? Mengapa... Semuanya jadi terasa hangat ?"

Aku tersenyum.

Ini hujan pertama...

Hujan bahagia...

Tuhan...

Semuanya terasa baru kemarin...

kemarin aku menangis...

Sekarang aku sudah bisa tersenyum lagi...

Apakah dengan janjinya aku akan selalu tersenyum ?

"Aku berjanji... asalkan kau mau kugenggam... aku akan membuatmu bahagia... Meskipun nantinya akan ada hujan... Tapi... kau tak sendirian... Karena aku akan ada disana, duduk dialam hujan itu sambil terus menggenggam tanganmu... Agar kau tahu... Kau tidak sendirian..."

Aku tidak sendirian, Tuhan.

"Karena ada tanganku..."

Ada tangannya, Tuhan.

"Yang menggenggam tanganmu..."

Yang menggenggam tanganku, Tuhan.

"Dan tangan kita disatukan oleh pemilik tangan kita..."

Dan kami disatukan oleh sang pemilik, Tuhan.

"Tuhan..."

Engkau.

"Hujan kali ini... Akan terasa hangat... Aku janji..."

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Makan Ulah Lali: Nyicipin Sate dan Sop Iga yang Super Pasrah

Hari Sabtu kemarin adalah hari dimana saya membayar batalnya puasa saya di bulan Ramadhan. Karena ada sisanya sekitar 3 hari, jadi saya bayar puasa sekaligus hari Kamis, Jumat dan Sabtunya. Nah, kebetulan suami juga kayaknya kangen makan daging-dagingan, jadilah kami memutuskan untuk makan sate kambing. Saya sih gak suka ya sama sate kambing, biasanya saya pesen sate ayamnya aja. Lumayan bingung juga untuk daerah Kuningan mesti makan sate yang enak dimana. Maklum saya kan dari Bandung, kalo makan sate di Bandung sih ga usah bingung soalnya saya udah paham banget tempat makan dengan sate yang enak dan harganya murah. Tapi kalo di Kuningan? Kebetulan suami juga lama di Bandung dan jarang banget jalan-jalan ke Kuningan, jadilah ketika sama-sama gak taunya, kita memutuskan untuk cari via google. Dari google, kita cari keyword sate kambing Kuningan Jawa Barat , muncullah beberapa rumah makan yang menyediakan sate kambing, diantaranya ada Sate Cibeber dan Sate Jalaksana . Tapi kata

Berguru Dari Sang Guru Sejati

Bambang Kumbayana berperang melawan kaum raksaksa bersama sepupunya, Sucitra. Kesaktian Kumbayana memang tidak perlu diragukan lagi, bangsa raksaksa di Atasangin bagian barat musnah hanya dengan beberapa kali tebasan keris Kumbayana. Sepulangnya dari berburu itu, Kumbayana diusir oleh ayahnya, Resi Baratwaja,  yang tidak setuju dengan perbuatannya itu. Kumbayana kemudian pergi dari Hargajembangan. Tidak lama setelah kepergiannya, sepupunya, Sucitra pun pergi dari Hargajembangan menuju Hastinapura. Di negeri Tempuru, Kumbayana bertemu dengan Dewi Krepi, putri dari raja dan seorang sakti bernama Purunggaji. Dewi Krepi yang jatuh cinta pada Kumbayana kemudian mengikuti Kumbayana menuju Hastinapura dengan menjelma sebagai Dewi Wilutama. Saat masih menjelma menjadi Dewi Wilutama dengan ajian salinrogo, Dewi Krepi berhubungan badan dengan Kumbayana. Akibatnya, tubuh Dewi Krepi membusuk, namun dia tetap bertahan hidup karena mengandung anak dari Kumbayana.

Beyond The Inspiration : Catatan Pemikiran Saya (Bagian 1)

"Pertanyaan yang salah tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang benar." Saya dulu mempertanyakan,  WHY AM I CREATED THIS WAY WHILE OTHERS CREATED THAT WAY?  Saya menganggap itu pertanyaan fundamental yang akan mengungkap jati diri saya dan makna Tuhan dan saya. Padahal, sekarang saya sadari bahwa itu tidak lebih dari protes saya terhadap diri saya sendiri, terhadap apa yang saya miliki, terhadap apa yang tidak mampu saya dapatkan, terhadap apa yang orang lain miliki dan mampu dapatkan. Mengapa saya tidak seperti orang lain? Mengapa orang lain bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan sedangkan saya tidak? Apa Tuhan mengesampingkan saya karena diri saya yang seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan baru terus menerus muncul. Semakin kreatif rumusan pertanyaannya padahal latar belakangnya hanya satu: saya enggan menjadi apa yang Allah perintahkan kepada saya. Saya menganggap seharusnya ada cara lain yang Tuhan inginkan, ada cara lain, harus ada cara lain. Cara yang sejalur dengan